MAKALAH
NUTRISI TANAMAN
STUDI KETERSEDIAAN DAN
SERAPAN HARA MIKRO SERTA HASIL BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT YANG
DIAMELIORASI ABU JANJANG KELAPA
SAWIT
Disusun Oleh :
Dennys Y.P
14011059
Agus Hartanto
14011060
Yogi Prayugo
14011061
Fery Setiawan
14011062
Luqman Al Hakim
14011063
Agus Ardianto
14011064
Adwitya Aksami
14011065
David Novianto N.
14011066
Viki Zain Hanafi
14011067
Sarmauli Pasaribu
14011070
Jum’at,
8 Januari 2016
Program Studi
Agroteknologi
Fakultas
Agroindustri
Universitas Mercu
Buana Yogyakarta
Yogyakarta
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
anugerahNya kepada kita semua. Terima kasih kita sampaikan kepada dosen
pengampu, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu melancarkan pembuatan
Makalah Nutrisi
Tanaman.
Pembuatan
Makalah merupakan salah satu tugas mahasiswa
setelah melaksanakan Presentasi Kuliah Nutrisi Tanaman di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Banyak hal yang kami peroleh
setelah melaksanakan kegiatan tersebut. Hal-hal yang kami peroleh tersebut
dapat kami jadikan bahan dalam menyusun Makalah ini. Jadi makalah ini didasarkan atas pengalaman dan
hal-hal yang kami alami selama melakukan Presentasi Nutrisi Tanaman yang
berjudul “Studi Ketersediaan dan Serapan Hara Mikro
Serta
Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang
Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit”
Dibutuhkan
kerjasama untuk menyusun Makalah ini. Kerjasama juga dibutuhkan dalam
menentukan terselesaikannya makalah yang dibuat. Oleh karena itu kami berusaha
menggalang kerjasama dengan semua pihak untuk kelancaran dan keberhasilan
pembuatan makalah
ini. Selain itu, kami juga mendapat beberapa kendala saat presentasi maupun pada waktu penyusunan makalah. Tetapi kami terus berusaha untuk
menghadapi segala rintangan dan kendala yang ada.
Selain itu, kami juga mengharap kritik dan saran dari semua pihak yang
dapat kami jadikan koreksi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
digunakan dengan sebaik mungkin sehingga akan menghasilkan hasil yang memuaskan
dan sesuai keinginan.
Yogyakarta, Januari 2016
Penulis,
DAFTAR
ISI
halaman
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ii
DAFTAR ISI ........................................................................................
iii
I. PENDAHULUAN
........................................................................... 1
A. Latar
Belakang............................................................................. 1
II. METODOLOGI................................................................................ 3
A. Bahan
dan Alat............................................................................. 3
B. Rancangan
Percobaan................................................................... 3
C. Pelaksanaan
Penelitian.................................................................. 4
a. Persiapan
Tanah....................................................................... 4
b. Pemberian
Abu Janjang Kelapa Sawit..................................... 4
c. Pemupukan............................................................................... 4
d. Penanaman............................................................................... 5
e. Pemeliharaan
dan Penjarangan................................................ 5
f. Pemanenan............................................................................... 5
III. HASIL
DAN PEMBAHASAN......................................................... 6
A. Ketersediaan
Hara Mikro............................................................. 6
B. Serapan
Hara Mikro...................................................................
10
C. Respon
Beberapa Varietas terhadap AJKS..................................21
IV. KESIMPULAN.................................................................................31
V. DAFTAR
PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan
terpenting setelah padi dan jagung. Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan
pertanian mengingat arealnya yang masih tersedia cukup luas yang tersebar di
seluruh Indonesia. Menurut BB Litbang SDLP (2008) dalam Agus dan Subiksa (2008), Indonesia memiliki lahan gambut
terluas di antara negara tropis yaitu sekitar 21 juta ha.
Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di
tanah gambut. Salah satu faktor penghambat budidaya tanaman di tanah gambut
adalah rendahnya ketersediaan unsur hara mikro. Rendahnya kandungan unsur hara
mikro pada tanah gambut disebabkan karena unsur hara mikro berasal dari tanah
mineral sementara tanah gambut adalah tanah organik. Kandungan bahan organik
yang tinggi pada tanah gambut juga menyebabkan rendahnya ketersediaan hara
mikro karena dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob pada tanah gambut
menghasilkan asam-asam organik yang menurut Rachim (1995) menyebabkan hara
mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia
bagi tanaman.
Penambahan unsur hara mikro dapat
dilakukan dengan pemberian amelioran. Abu janjang kelapa sawit () dapat digunakan
sebagai salah satu amelioran di tanah gambut karena mempunyai kandungan unsur
hara yang lengkap baik makro maupun mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan
memiliki kejenuhan basa yang tinggi dimana kandungan kationnya bisa mengusir
senyawa beracun apabila ketersediaannya mencukupi.
Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O,
7 % P2O5, 9 % CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga
mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100
ppm Cu (Bangka, 2009). Soepardi
(1983) menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan jumlah ketersediaan unsur
hara P, K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.
Abu janjang kelapa sawit bisa berasal dari hasil
limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di
dalam incenerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga dengan melakukan
pembakaran secara manual. Limbah janjang kosong merupakan limbah dengan volume
yang paling banyak dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik
Kelapa Sawit yang menurut Surono (2009) mencapai 21% dari TBS yang diolah.
Varietas kedelai yang biasa digunakan pada tanah gambut
adalah varietas yang biasa di tanam di lahan pasang surut bukan varietas
spesifik lokasi tanah gambut. Hal ini dikarenakan tanah gambut merupakan salah
satu jenis tanah yang terdapat di lahan pasang surut yang umumnya tergenang
atau permukaan air tanahnya dangkal. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro
yang diuji oleh Sagala (2010) di lahan pasang surut dengan budidaya jenuh
air (BJA) menghasilkan berturut-turut 105; 96; 40 dan 42 buah polong/tanaman
pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah.
II.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai
Februari 2011, bertempat di rumah kawat Fakultas Pertanian Universitas Islam
Indragiri Tembilahan, Kecamatan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir,
Propinsi Riau. Analisis tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
A. Bahan dan Alat
Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut, benih edelai varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro.
Rhizogin, Urea (45 % N), SP36 (36 % P2O5), KCl (50 % K2O), dolomit. Alat yang
digunakan adalah polybag, cangkul, meteran, alat tulis dan peralatan laboratorium.
B. Rancangan Percobaan
Penelitian
ini mengunakan rancangan petak terpisah. Percobaan terdiri dari dari 2 seri
dimana seri pertama (I) dipergunakan untuk analisis tanah setelah inkubasi dan
analisis jaringan tanaman pada saat fase vegetatif maksimum untuk melihat
ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut dan serapan hara Cu, Zn,
Fe dan Mn oleh beberapa varietas kedelai yang diameliorasi . Seri kedua (II)
dipergunakan untuk melihat pertumbuhan
dan hasil beberapa varietas kedelai yang diameliorasi .
Petak utama adalah 3 varietas kedelai (1 varietas toleran
lahan pasang surut, 1 varietas toleran moderat lahan pasang surut dan 1
varietas peka lahan pasang surut) yang terdiri dari :
V1 = varietas Tanggamus
(toleran)
V2 = varietas Slamet
(moderat)
V3 = varietas Anjasmoro
(peka)
Anak petak adalah 4 dosis pemberian yang terdiri dari :
A0 = Tanpa perlakuan = 0 g /
polybag
A1 = 300 kg /ha = 2,5 g / polybag
A2 = 600 kg /ha = 5,0 g / polybag
A3 = 900 kg /ha = 7,5 g / polybag
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan
uji F. Apabila memperlihatkan hasil berbeda nyata, dilanjutkan dengan DNRMT (Duncan’s New Multiple Range Test).
Penempatan masing–masing perlakuan dilakukan secara acak.
Denah penempatan satuan percobaan di rumah kawat
disajikan pada Lampiran 4.
C.
Pelaksanaan Penelitian
a.
Persiapan Tanah
Tanah diambil secara bulk
composite pada kedalaman 0-20 cm, kemudian membersihkannya dari akar dan
kotoran yang ada. Tanah dikeringanginkan sampai kondisi lembab. Tanah diambil
sebanyak 500 g untuk analisis tanah awal, kemudian menimbang tanah
sebanyak 10 kg atau 2,5 kg setara kering
mutlak dan memasukkannya ke dalam masing-masing polybag dengan penghitungannya
dengan rumus = (% kadar air tanah x berat setara kering mutlak) + berat setara
kering mutlak yaitu (300 % x 2,5 kg) + 2,5 kg = 10 kg
b.
Pemberian
Abu Janjang Kelapa sawit
Mencampur rata dengan tanah gambut yang dipakai sebagai media sesuai perlakuan yaitu tanpa
perlakuan , 300 kg/ha , 600 kg/ha dan 900
kg/ha yang dikonversikan ke dalam
polybag dengan berat tanah 2,5 kg setara berat kering. Tanah kemudian
diinkubasi selama 2 minggu. Analisis kandungan hara dapat dilihat pada Lampiran
5.
c.
Pemupukan
Pemupukan dasar dilakukan
setelah tanah diinkubasi selama 2 minggu dengan takaran 50 kg Urea, 100 kg SP36
dan 50 kg KCl (Deptan, 2006) dengan cara tugal di samping tanaman. Pemberian
dolomit sebesar 500 kg/ha ditujukan untuk penambahan hara Ca dan Mg. Semua
pupuk diberikan sekaligus pada saat tanam.
d.
Penanaman
Penanaman benih kedelai dengan cara tugal sedalam 3 cm
sebanyak 2 biji perlubang. Sebelum ditanam, benih diinukolasi terlebih
dahulu dengan cara mencampurkan rhizogin dengan perbandingan 7,5 g inukolan
untuk 1 kg benih kedelai (Pitojo, 2003). Benih dikeringanginkan dan segera
ditanam.
e.
Pemeliharaan dan penjarangan
Pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma dan hama
penyakit. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari sampai kondisi tanah lembab atau
sekitar kapasitas lapang. Pengendalian gulma dilakukan secara manual 1 minggu
sekali atau melihat kondisi gulma di polybag. Pencegahan hama dilakukan dengan
menyemprotkan Ripcord 3 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter sedangkan pencegahan
penyakit dilakukan dengan menyemprotkan Dithane M-35 dengan konsentrasi 2 g/l,
dilakukan setiap 2 minggu sekali sejak tanaman berumur 14 hari setelah tanam.
Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 7 – 14 hari setelah tanam sedangkan
penjarangan dilakukan pada umur 14 hari setelah tanam (Soeprapto, 2002) dengan
mempertahankan 1 batang tanaman/ polybag .
f. Pemanenan
Panen pertama dilakukan pada percobaan seri pertama (I) yaitu
pada fase vegetatif maksimum dimana tanaman berumur sekitar 30 hari setelah
tanam (tergantung varietasnya) yang ditandai dengan keluarnya primordia bunga pertama
untuk ditentukan serapan haranya. Panen kedua untuk pengamatan komponen hasil tanaman dilakukan pada
percobaan seri kedua (II) yaitu fase generatif saat umur tanaman sekitar 90
hari setelah tanam atau pada saat tanaman telah menunjukkan tanda-tanda matang
panen.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ketersediaan Hara Mikro Cu,
Zn, Fe dan Mn Pada Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit
(AJKS)
Dari Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10.) dapat
dilihat bahwa pemberian AJKS berpengaruh nyata terhadap ketersediaan hara Cu,
Zn, Fe dan Mn. Pengaruh pemberian AJKS terhadap ketersediaan Cu, Zn, Fe dan
Mn pada tanah gambut setelah inkubasi
selama 2 minggu serta hasil uji lanjut DNMRT
pada taraf 5 % ditampilkan pada Tabel 5. Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa hara
Cu, Zn, Fe dan Mn meningkat ketersediaannya dengan pemberian AJKS dibandingkan
tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis pemberian AJKS secara keseluruhan
meningkatkan ketersediaan unsur hara. Cuprum mengalami peningkatan ketersediaan
sebesar 2,17-19,73 ppm, Zn sebesar 7,08-13,89 ppm, Fe sebesar 11,71-31,12
ppm dan Mn sebesar 2,70-6,55 ppm
dibanding tanpa perlakuan AJKS. Ketersediaan
hara Cu, Zn, Fe dan Mn tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg AJKS/ha
yaitu berturut-turut sebesar 36,48 ppm, 48,55 ppm, 78,36 ppm dan 23,41 ppm.
Tabel 5. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit
(AJKS) Terhadap Cu-dd,
Zn-dd, Fe-dd dan Mn-dd Pada Tanah Gambut Setelah
Inkubasi Selama 2 Minggu
Dosis AJKS
(Kg/ha)
|
Cu
|
Zn
|
Fe
|
Mn
|
||||||
|
ppm
|
|
|
|||||||
0
300
600
900
|
16,75c 18,92c
26,64b
36,48a
|
34,66c
41,74b
46,94a
48,55a
|
47,24d
58,95c
66,12b
78,36a
|
16,86c
19,56b
22,94a
23,41a
|
||||||
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak
nyata pad taraf 5 % menurut uji DNMRT.
Kriteria ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah
gambut belum ada, sehingga dalam penelitian ini digunakan rujukan kriteria
ketersediaan hara mikro secara umum (mungkin untuk tanah mineral). Menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002), kadar Cu dinyatakan rendah apabila berada pada
kisaran 15-25 ppm dan sedang pada kisaran 25-75 ppm. Kadar Cu pada pemberian
AJKS 600 kg/ha adalah 26,46 ppm sehingga dapat dinyatakan telah mulai memasuki
kriteria sedang begitu juga dengan pemberian AJKS 900 kg/ha. Kadar Zn pada
dosis 900 kg/ha AJKS masih berada dalam kriteria rendah (48,55 ppm), menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn pada kriteria rendah berkisar antara
20-50 ppm. Kadar Fe akibat pemberian 300 kg/ha AJKS sudah mencapai kriteria
sedang (78,36 ppm), menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) kadar Fe pada kisaran
50-250 ppm termasuk kriteria sedang. Mangan tersedia pada Pemberian 900 kg/ha
AJKS diperoleh sebesar 32,41ppm, berkemungkinan masih termasuk rendah karena
kadar Mn dalam tanah menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) berkisar antara 20 ppm
sampai 1000 ppm.
Ketersediaan Cu yang
telah mencapai kriteria sedang pada dosis 600 kg/ha AJKS diduga karena
sumbangan pelepasan Cu dari khelat Cu pada tanah. Bahan pengompleks Cu pada
tanah sampel penelitian diduga mempunyai berat molekul rendah sehingga
kestabilan Cu menjadi lebih rendah. Menurut Stevenson (1984), kestabilan
senyawa khelat dipengaruhi berat molekul dan bahan pengompleksnya.
Ketersediaan Fe sudah mencapai kriteria sedang pada pemberian
dosis 300 kg/ha AJKS, hal ini berkaitan dengan ketersediaan Fe pada tanah awal memang
tidak begitu rendah. Hal ini diduga disebabkan karena tanah gambut yang
dicobakan lokasinya berada tidak jauh dari tanah Aluvial yang mengandung sulfat
masam. Diduga terjadi penyusupan Fe melalui pengaruh air pasang surut.Menurut
Rosmarkam dan Yuwono (2002), di Indonesia, kadar Fe pada tanah pasang surut dan
tanah gambut bervariasi sedang sampai sangat tinggi.
Peningkatan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn disebabkan karena
adanya penambahan hara Cu, Zn, Fe dan Mn dari pemberian AJKS. Dari hasil analisis kandungan hara,
ternyata AJKS yang digunakan pada percobaan ini selain mengandung hara makro
juga mengandung Cu sebesar 8,97 ppm, Zn sebesar 71,9 ppm, Mn sebesar 53,1 ppm
dan Fe sebesar 188,2 ppm (Lampiran 5.). Menurut Buckman dan Brady (1982), kelebihan abu
antara lain mengandung semua unsur hara secara lengkap baik mikro maupun makro
(kecuali N karena pembakaran abu yang sempurna menghilangkan unsur N). Penambahan AJKS dapat
meningkatkan aktifitas asam-asam organik sehingga terjadi pelarutan mineral –
mineral yang berasal dari AJKS sehingga ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah
meningkat.
Pemberian dan Peningkatan dosis AJKS meningkatkan pH tanah
gambut (Tabel 3.) Menurut Winarso (2005), pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat
pada ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo
dan Cl) menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan
hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5,0-7,0; 5,0-7,0; 4,0-6,5
dan 5,0-6. Sopher and Baird (1976) menyatakan bahwa pada range pH 4,0-6,0,
peningkatan pH tanah berpengaruh kuat terhadap penurunan ketersediaan Zn, Fe
dan Mn tetapi tidak begitu kuat mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu. Nilai
pH tertinggi akibat pemberian AJKS yang diperoleh pada percobaan ini baru mencapai
4,13 sehingga diduga belum begitu besar untuk mempengaruhi penurunan
ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn.
Krauskoff (1972) dalam Suryanto
(1991) mengemukakan bahwa bentuk Cu dalam tanah sangat tergantung pada pH
tanah. Pada pH agak tinggi Cu berbentuk ion kupri (Cu2+) dan tidak
mengendap. Pada pH yang lebih tinggi bentuk Cu(OH)+ lebih dominan
dalam larutan tanah. Akan tetapi pada pH alkalis terjadi pengendapan Cu seperti
bentuk CuO, Cu2O atau Cu(OH)2. Sebaliknya pada pH yang
sangat rendah sering diendapkan oleh adanya H2S dan membentuk CuS
atau Cu2S. Hasil penelitian Syukur, Radjagukguk dan Roesmarkam
(1985) dalam Suryanto (1991)
menunjukkan peningkatan pH dri 4,5 menjadi 6,7 dapat menurunkan kelarutan Cu
dari 6 ppm menjadi kurang dari 2 ppm. Reuther (1957) dalam Suryanto (1991) menjelaskan bahwa tanah akan mengikat Cu
dengan kuat pada pH 7-8 sebaliknya ikatan ini semakin melemah dengan menurunnya
pH. Tisdale dan Nelson (1975) melaporkan bahwa Cu dapat ditukar menurun dengan
naiknya pH.
Menurut Seatz dan Jurinak (1957) dalam Suryanto (1991) pada kisaran pH 5.5-7.0 ketersediaan Zn
menurun. Kelarutan ini meningkat dengan makin rendahnya pH dan menurun dengan
makin tingginya pH. Sims dan Patrick (1978) dalam
Suryanto (1991) melaporkan bahwa kenaikan pH dari 6,0 menjadi 7,5 dapat
menurunkan kandungan Zn sebanyak 39 %.
Kelarutan Fe dan Mn juga dipengaruhi pH tanah. Kathyal dan
Rumawa (tahun tidak tercantum) menjelaskan bahwa kelarutan Fe sangat tergantung
kepada pH tanah, terjadi penurunan kelarutan Fe sebesar kelipatan 1000 per unit
peningkatan pH. Tanaka dan Yoshida (1970) dalam
Roesmarkam menyatakan bahwa mulai pada pH 6,5 sampai reaksi netral dan
alkalis dapat terjadi kekahatan mangan dan sebaliknya bila pH tanah rendah
kemungkinan akan terjadi keracunan. Pada pH netral sampai alkalis pengendapan
Mn terjadi berupa MnCO3, oksida dan hidroksida Mn2+.
Bentuk hidroksida unsur ini yang bervalensi besar menurut Buckman dan Brady
(1982) tidak dapat larut untuk mensuplai ion yang diperlukan tanaman.
Contoh reaksi yang menerangkan hubungan penurunan kelarutan
unsur hara mikro (kation) dengan peningkatan pH tanah adalah sebagai berikut:
Zn++ + 2OH Zn(OH)2
Larut tidak larut
Jika pH naik, bentuk ion
dari kation hara mikro yang semula mudah larut diubah menjadi hidroksida atau
oksida yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
B. Serapan Hara Cu, Zn, Fe dan
Mn Pada Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu
Janjang Kelapa Sawit (AJKS)
a. Serapan Hara Cu
Cu Pada
Akar
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11.) menunjukkan bahwa
dosis AJKS dan varietas berbeda nyata terhadap serapan Cu pada akar tanaman
kedelai. Interaksi dosis pemberian AJKS dan varietas tanaman kedelai juga
memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil analisis statistik yang telah diuji lanjut dengan DNMRT pada
taraf 5 % disajikan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6. terlihat bahwa semua varietas menunjukkan
peningkatan angka serapan Cu akar dibanding tanpa pemberian AJKS. Peningkatan
dosis AJKS berkorelasi positip terhadap peningkatan serapan Cu akar Tanggamus
(1,09 µg-7,46 µg), Slamet (0,97 µg-7,62 µg) dan Anjasmoro (4,22 µg-6,99 µg).
Peningkatan Serapan Cu akar pada semua varietas pada semua
level dosis AJKS karena adanya penambahan sumbangan hara Cu pada larutan tanah
oleh AJKS sehingga meningkatkan ketersediaan Cu yang dapat diserap oleh akar
yang selanjutnya akan ditransportasi ke tajuk melalui pembuluh xylem. Tanah
gambut yang tidak diberi AJKS tidak mendapat tambahan hara Cu dari AJKS hanya
dari hasil dekomposisi bahan organik
pembentuk tanah itu sendiri. Tanah gambut miskin akan ketersediaan Cu
karena menurut Nyakpa et al. (1988)
unsur mikro Cu berasal dari pelapukan batuan sementara tanah gambut berasal
dari pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan ribuan tahun yang lalu. Bahan induk
cenderung lebih mempengaruhi kandungan akan unsur hara mikro daripada kandungan
unsur hara makro.
Selain itu pada tanah yang berkadar organik tinggi seperti gambut, sebagian besar hara mikro
terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi
tanaman (Kanapathy, 1972 dalam Setiadi,
1996). Hal ini menerangkan kenapa tanaman pada tanah gambut sering mengalami
kekahatan Cu sehingga penambahan Cu ke dalam tanah mutlak dilakukan.
Akar Anjasmoro memiliki nilai serapan Cu tertinggi pada
perlakuan tanpa pemberian AJKS (9,45 µg), pemberian 300 Kg/ha AJKS (13,67 µg)
dan pemberian 900 kg/ha AJKS (16,44 µg) tetapi pada perlakuan 600 kg/ha AJKS
(10,62 µg), memperoleh nilai terendah dibanding Tanggamus dan Slamet. Slamet
memperoleh nilai serapan Cu pada akar terendah hampir pada semua perlakuan
kecuali pada dosis 600 kg/ha (10,88µg)
nilai terendah diperoleh oleh Anjasmoro (10,62 µg) tetapi menurut analisis
statistik nilai serapan Cu akar antara kedua varietas ini pada dosis 600 kg/ha
AJKS tidak berbeda nyata.
Tanggamus menunjukkan respon intermediet (menengah) terhadap
serapan Cu akar baik pada perlakuan tanpa pemberian AJKS maupun peningkatan
dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha, varietas ini memperoleh angka serapan
Cu akar tertinggi (13,49µg ). Pada perlakuan 900 kg/ha AJKS, ketiga varietas
memperoleh nilai yang tidak berbeda secara statistik tetapi secara angka
Anjasmoro memperoleh angka serapan Cu akar tertinggi.
Respon varietas yang berbeda yang terjadi pada dosis
pemberian 600 kg/ha AJKS terhadap serapan Cu akar diduga karena perbedaan
toleransi ketiga varietas terhadap serapan Cu akar. Pada dosis 600 kg/ha laju
penyerapan Cu pada akar Tanggamus mengalami peningkatan yang lebih besar (3,46
ppm) dibanding laju penyerapan Cu pada level 300 kg/ha (1,09 ppm) dan level 900
kg/ha AJKS (2,91 satuan). Berbeda dengan Anjasmoro dan Slamet yang pada dosis
600 kg/ha AJKS justru laju penyerapannya lebih rendah dibandingkan pada dosis
300 kg/ha dan 900 kg/ha. Menurut Marschner et.al.
(1999), perbedaan toleransi varietas terhadap ketersediaan Cu rendah
berhubungan dengan perbedaan laju penyerapan Cu oleh akar dan modifikasi ketersediaan Cu pada perbatasan tanah dengan akar oleh
eksudat akar.
Penurunan serapan Cu pada akar Anjasmoro pada dosis 600 kg/ha
AJKS diduga disebabkan pada level ini protein pembawa kation ini berada dalam
keadaan jenuh sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi sehingga protein
pembawa lain aktif dalam membawa kation ini ke dalam sel. Dosis 900 kg/ha AJKS
diduga mampu mengatasi kejenuhan protein pembawa dan mengaktifkan protein
pembawa lain sebagaimana menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh
pada konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan
tidak lagi mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi
jika konsentrasi ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain
yang berperan dalam serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan
protein pembawa yang lain.
Cu Pada Tajuk
Pengaruh Utama varietas kedelai, dosis AJKS serta interaksi
antara varietas kedelai dan dosis AJKS berbeda nyata terhadap serapan Cu pada
tajuk tanaman kedelai (Lampiran 11.). Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 %
disajikan pada Tabel 7.
Dari Tabel 6. dan 7. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis
AJKS cenderung meningkatkan serapan Cu baik pada akar maupun tajuk tanaman
semua varietas (Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet). Besarnya peningkatan total
serapan Cu oleh tanaman adalah berkisar 21,27µg - 64,65µg. Peningkatan serapan
hara Cu pada Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet sejalan dengan semakin
meningkatnya dosis AJKS disebabkan adanya peningkatan ketersediaan hara Cu pada
larutan tanah akibat pemberian dan peningkatan dosis AJKS (Tabel 5.) Semakin
tersedianya hara Cu pada larutan tanah menyebabkan semakin banyak hara Cu yang
tersedia untuk diserap oleh akar tanaman dan diteruskan pada tajuk tanaman.
Menurut Mas’ud (1992) hara tembaga diserap akar tanaman dalam
bentuk kation Cu2+ melalui suatu proses aktif. Penyerapan Cu2+ akan
meningkat dengan meningkatnya kepekatan ion dalam larutan sampai 0,1 mM.
Penyerapan Cu akan berkurang jika larutan tanah banyak mengandung Al tetapi ion
Zn dan Mn tidak mempengaruhi penyerapan. Unsur Cu umumnya diserap melalui
aliran massa, sedikit melalui intersepsi akar dan tidak ada diserap melaui
difusi (Barber et.al dalam Havlin et al. 1999).
Anjasmoro memperoleh angka tertinggi pada perlakuan tanpa
pemberian AJKS dan 300 kg/ha AJKS, sementara Tanggamus memperoleh angka
tertinggi pada dosis 600 kg/ha dan Slamet memperoleh angka tertinggi pada perlakuan 900 kg/ha AJKS
terhadap serapan Cu tajuk tanaman. Angka Serapan hara Cu tajuk yang rendah pada
umumnya ditemui pada Slamet pada semua level dosis kecuali pada dosis 900 kg/ha
semua varietas menunjukkan respon yang sama. Perbedaan respon tanaman terhadap
serapan tajuk berkaitan dengan kemampuan akar dalam menyerap Cu pada akar dan
kemampuan tanaman dalam mengangkut hara dari akar ke tajuk masingmasing varietas
.
Umumnya serapan hara pada tajuk lebih tinggi dibandingkan
serapan hara pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Cu yang mempunyai
peranan besar dalam fotosintesis yaitu menurut Lakitan (1993) adalah sebagai
plastosianin pada kloroplas yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada proses
fotosintesis. Titik kritis defisiensi Cu pada bagian vegetatif tanaman biasanya
berkisar 1-5 ppm tergantung spesies tanaman, organ tanaman, tingkat pertumbuhan
dan suplai Nitrogen (Marschner, 1995). Kadar Cu < 10 ppm pada kedelai
menunjukkan defisiensi sedangkan > 30 ppm sudah berlebih atau bersifat
toksik (Katyal dan Rhandawa, tahun tidak tercantum). Kadar hara tertinggi pada
tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut diperoleh sebesar 8,34
ppm, 8,19 ppm dan 7,82 ppm. Dengan demikian peningkatan kadar Cu pada tanaman
dengan penambahan AJKS pada penelitian ini masih berada dalam tingkat
defisiensi. (Berat tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut 2,12 g,
2,24 g dan 2,31 g).
b. Serapan Zn
Zn pada
Akar Tanaman
Pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta
interaksi keduanya berbeda nyata terhadap serapan hara Zn pada akar kedelai
(Lampiran 11). Hasil uji lanjut statistik dengan DNMRT pada taraf 5 % perlakuan
dosis AJKS dan varietas kedelai terhadap serapan Zn pada akar kedelai disajikan
pada Tabel 8.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa pemberian AJKS meningkatkan
serapan Zn akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro dibanding tanpa pemberian AJKS.
Serapan Zn akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro mengalami peningkatan sejalan
peningkatan dosis AJKS. Peningkatan serapan Zn akar pada semua varietas yang
dicobakan berkaitan dengan semakin tersedianya Zn pada larutan tanah akibat
adanya penambahan Zn dari kandungan AJKS (Tabel 5.). sehingga Zn yang dapat diserap
oleh akar juga semakin banyak. Menurut Marschner (1995) peningkatan konsentrasi
ion eksternal menunjukkan peningkatan konsentrasi ion di dalam eksudat
akar.Angka serapan Zn pada akar tertinggi diperoleh Anjasmoro pada dosis 300
kg/ha AJKS dan 900 kg/ha AJKS sedangkan pada perlakuan tanpa pemberian
AJKS dan dosis 600 kg/ha serapan Zn
tertinggi ditemui pada akar Tanggamus. Slamet umumnya mempunyai angka serapan
hara akar terendah pada semua level dosis AJKS sementara Tanggamus berada pada
level intermediet kecuali pada perlakuan tanpa AJKS dan dosis 600 kg/ha AJKS.
Perbedaan serapan Zn akar diantara varietas ini diduga disebabkan perbedaan
kepekaan varietas atas rendahnya ketersediaan Zn. Varietas yang peka akan
menyerap Zn lebih tinggi. Menurut Marschner (1999) perbedaan tanaman dalam
menyerap Zn mungkin disebabkan oleh perbedaan akar tanaman dalam mengeksplorasi
Zn pada larutan tanah.
Zn pada Tajuk
Analisis sidik ragam (lampiran 11.) memperlihatkan bahwa
antara pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas kedelai serta
interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap serapan Zn pada tajuk kedelai.
Hasil analisis statistik yang telah diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada
Tabel 9.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa peningkatan serapan hara
Zn pada semua akar varietas kedelai yang dicobakan meningkat dengan semakin
meningkatnya dosis AJKS tetapi pada Tabel 9. terlihat bahwa pada tajuk
Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro peningkatan serapan Zn baru terlihat pada dosis
600 kg/ha dibanding tanpa pemberian AJKS. Hal ini diduga disebabkan dosis AJKS
yang dicobakan masih terlalu rendah untuk mensuplai Zn untuk tajuk tanaman dan
range dosis yang dicobakan masih kecil sehingga peningkatan level dosis tidak
begitu memperlihatkan perbedaan nyata menurut statistik walaupun peningkatan
dosis AJKS yang dicobakan telah meningkatkan serapan akar. Berkemungkinan
permintaan tajuk terhadap hara Zn lebih tinggi dari kemampuan akar dalam
memenuhinya karena kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap Zn rendah.
Pada dosis 900 kg/ha, serapan hara Zn oleh tajuk Slamet
menurun dibandingkan dosis 600 kg/ha. Penurunan serapan pada tajuk Slamet pada
dosis 900 kg/ha memperlihatkan bahwa laju serapan Zn pada tajuk Slamet tidak
meningkat secara linear dengan peningkatan dosis AJKS dan serapan hara Zn pada
akar. Laju serapan bersifat asimptotik yaitu berlangsung lebih cepat dan tidak
linear. Pada dosis 600 kg/ha AJKS laju serapan berlangsung lebih cepat
(tinggi), diduga pada kondisi ini protein pembawa berada pada kondisi jenuh.
Menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh pada konsentrasi relatif
rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan tidak lagi mempengaruhi
serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi jika konsentrasi ion
tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain yang berperan dalam
serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan protein pembawa
yang lain. Peningkatan dosis 900 kg/ha AJKS diduga belum cukup untuk mengatasi
kejenuhan protein pembawa.
Tajuk Anjasmoro menyerap Zn lebih banyak dibanding tajuk
Tanggamus dan tajuk Slamet dimana tajuk Tanggamus menyerap Zn lebih besar
dibanding Tajuk Slamet pada semua level dosis. Setiap Spesies dan varietas
menurut Marschner (1995) mempunyai kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi
Zn. Kedelai dan jagung sangat peka terhadap defisiensi Zn. Tanaman yang peka
terhadap Zn rendah berusaha menyerap Zn lebih banyak sehingga meningkatkan
kemampuan untuk menyerap Zn, tetapi dibatasi oleh ketersediaan Zn dalam larutan
tanah.
Jumlah dan laju serapan hara Zn pada tajuk lebih besar
dibandingkan pada akar. Seng lebih dibutuhkan pada tajuk (daun) dibandingkan
akar tanaman karena berperan dalam fotosintesis di daun. Hal ini berkaitan
dengan fungsi Zn yang menurut Lakitan (1993) berfungsi dalam pembentukan
klorofil dan mencegah kerusakan molekul klorofil. Titik kritis toksik pada daun
tanaman adalah < 100 µg/g berat kering (Ruano et al., 1988 dalam Marschner,
1995), menurut Mengel dan Kirkby (1987) dalam
Roesmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn dalam tanaman berkisar antara 20 ppm
-70 ppm. Kadar Zn tertinggi dalam tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat
pemberian AJKS dalam penelitian ini berturut-turut 8,03 µg/g berat kering, 6,03
µg/g dan 10,83 µg/g. Harkat Zn dalam daun indikator kedelai 1020 ppm menurut
Jones (1967) dalam Roesmarkam dan
Yuwono (2002) termasuk kategori rendah.
c. Serapan Hara Fe
Fe pada
Akar
Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 11. dapat diketahui
bahwa antara pengaruh utama dosis AJKS dan varietas serta interaksi keduanya
memperlihatkan hasil yang berbeda nyata terhadap serapan Fe pada akar tanaman
kedelai. Analisis statistik yang diuji dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat
dilihat pada Tabel 10.
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak
nyata pada taraf 5 % menurut uji DNMRT (huruf besar dibaca secara horizontal
dan huruf kecil secara vertikal).
Dari Tabel 10. terlihat bahwa terjadi peningkatan serapan Fe
pada akar ketiga varietas kedelai yang dicobakan akibat pemberian AJKS.
Peningkatan serapan pada akar Tanggamus berkisar 28,65-63,21 µg, pada akar
Slamet berkisar 27,89µg62,34µg dan pada akar Anjasmoro berkisar 28,16µg
-62,30µg dibandingkan tanpa pemberian AJKS. Peningkatan serapan Fe akar
Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro ini disebabkan semakin tersedianya Fe pada
larutan tanah akibat adanya penambahan hara Fe yang dilepaskan oleh AJKS (Tabel
5.).
Ketiga varietas menunjukkan respon yang sama hampir pada
semua level dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha dimana Anjasmoro
menunjukkan respon yang lebih tinggi. Anjasmoro mempunyai kemampuan yang lebih
tinggi dalam menyerap unsur hara Fe dan memiliki respon yang lebih cepat
terhadap pemberian AJKS. Hal ini terlihat dari angka serapan hara yang lebih
tinggi pada perlakuan tanpa pemberian AJKS dan pada dosis AJKS 600 kg/ha sudah
menunjukkan peningkatan angka serapan hara Fe sementara Tanggamus dan Slamet
baru memperlihatkan peningkatan hara Fe pada dosis 900 kg/ha AJKS menurut
analisis statistik.
Fe pada Tajuk
Dari interaksi dosis AJKS dan varietas terhadap serapan Fe
akar (Tabel 10.) dan Tajuk (Tabel 11.) terlihat bahwa serapan hara Fe meningkat
dengan meningkatnya dosis AJKS. Peningkatan serapan Fe pada akar dan tajuk
tanaman kedelai karena semakin meningkatnya ketersediaan hara Fe pada larutan
tanah akibat terlepasnya hara Fe dari AJKS dengan semakin meningkatnya
aktifitas asam-asam organik untuk berikatan dengan Fe yang ada dalam kandungan
AJKS.
Meningkatnya serapan Fe dengan peningkatan dosis AJKS diduga
karena adanya penambahan hara Fe ke dalam larutan tanah sementara tanah gambut
yang tidak diberi AJKS hanya mengharapkan tambahan dari mineralisasi Fe hasil
dekomposisi bahan organik penyusun tanah gambut dan dari resapan air laut.
Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), Fe adalah elemen yang
sukar untuk dipahami sebab kadarnya didalam tanaman dan kadar ketersediannya di
tanah tidak selalu dapat dipercaya untuk mendiagnosa defisiensi Fe. Kadar Fe
total pada tanah umumnya tidak mengatur kadar nutrisi tanaman. Menurut Havlin et.al (1999) interaksi kation logam
dengan Fe dapat menyebabkan stress Fe. Penggunaan P yang berlebihan, kadar Cu,
Mn, Zn dan Mo yang tinggi mengganggu penyerapan dan penggunaan Fe oleh tanaman.
Tajuk Anjasmoro menyerap Fe lebih besar dibandingkan tajuk
Tanggamus dan Slamet, sementara antara tajuk Tanggamus dan tajuk Slamet
memiliki kemampuan yang sama menurut analisis statistik. Hal ini berkaitan
dengan respon Anjasmoro yang lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet
terhadap pemberian AJKS dan kemampuan akar dalam mengeksplorasi Fe pada larutan
tanah yang lebih besar sehingga mampu memenuhi permintaan tajuk akan unsur Fe.
Titik kritis defisiensi Fe pada daun berkisar 50-150 µg Fe /g
berat kering sedangkan titik kritis toksik berkisar diatas 500 µg Fe/g berat
kering (Marschner, 1995). Kadar Fe tertinggi
pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat pemberian AJKS
berturut-turut sebesar 62,89 ppm, 66,92 ppm dan 70,01 ppm. Menurut Jones (1972)
dalam Katyal dan Rhandawa (tahun
tidak tercantum) kadar Fe 28-38 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi, kadar
44-60 ppm adalah normal. Dengan demikian kadar Fe tertinggi pada percobaan ini
sudah mencukupi kebutuhan kedelai ketiga varietas yang dicobakan bahkan sedikit
melebihi batas normal tetapi belum sampai menyebabkan toksisitas.
Serapan hara Fe pada tajuk lebih besar dibandingkan serapan
hara pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Fe itu sendiri yang lebih
berperan pada bagian atas tanaman. Menurut Lakitan (1993), besi merupakan unsur
hara essensial karena merupakan bagian dari protein yang berfungsi sebagai
pembawa elektron pada fase terang
fotosintetis dan respirasi
d.
Serapan Hara Mn
Mn pada Akar
Analisa sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa tidak
ada interaksi yang nyata antara pemberian AJKS dan varietas, tetapi pengaruh
utama pemberian AJKS dan pengaruh utama varietas masing-masing menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada akar tanaman kedelai. Hasil
analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % disajikan pada
Tabel 12.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn akar tanaman
kedelai yaitu sebesar 3,33-11,13µg dibandingkan tanpa perlakuan AJKS. Serapan
Mn pada akar tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dosis 900 kg/ha AJKS.
Akar Slamet memiliki kemampuan menyerap Mn yang paling rendah dibandingkan Tanggamus
dan Anjasmoro dimana daya serap Mn akar Tanggamus dan Anjasmoro tidak berbeda
nyata menurut analisis statistik.
Mn pada Tajuk
Hasil sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa
pengaruh tunggal dosis AJKS dan pengaruh tunggal varietas kedelai berbeda nyata
terhadap serapan hara Mn pada tajuk kedelai tetapi tidak terjadi interaksi yang
nyata antara kedua faktor perlakuan.
Hasil statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % dapat dilihat pada
Tabel 13.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn tajuk tanaman
kedelai yaitu sebesar (8,80-8,86 µg) dibandingkan tanpa perlakuan AJKS (18,02
µg), tetapi dosis pemberian 600 kg/ha AJKS (26,28 µg) dan 300 kg/ha AJKS (26,82
µg) tidak berbeda nyata dengan dosis
pemberian 900 kg/ha AJKS secara analisis statistik. Tidak terjadinya
peningkatan serapan Mn dengan meningkatnya dosis AJKS sampai 900 kg/ha AJKS
dikarenakan antagonisme antara Fe dan Mn.
Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum),
ketersediaan Fe yang tinggi pada tanah dapat menyebabkan defisiensi Mn. Untuk
pertumbuhan optimum tanaman, ratio Fe:Mn pada media hara seharusnya berada
diantara 1,5 dan 2,5. Nilai diatas 2,5 menyebabkan defisiensi Mn sementara
nilai di bawah 1,5 menyebabkan toksisitas. Ratio Fe:Mn pada tanah setelah pemberian AJKS berkisar
antara 3,353,50, sehingga menyebabkan tanaman berada dalam kondisi defisiensi
Mn. Peningkatan dosis AJKS disertai penambahan pupuk Mn lewat daun mungkin
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi ketidakseimbangan atau antagonisme kedua
pupuk ini.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan hara Mn akar
(Tabel 12.) tetapi tidak meningkatkan serapan Mn Tajuk (Tabel 13.). Peningkatan
serapan Mn pada akar kedelai ini berkaitan dengan meningkatnya ketersediaan Mn
pada larutan tanah (Tabel 5.). Peningkatan hara Mn pada larutan tanah berasal
dari sumbangan hara Mn dari AJKS.
Serapan hara Mn meningkat dengan meningkatnya ketersediaan hara Mn dalam
larutan tanah. Menurut Uren (1981) dalam Salisbury
dan Ross (1995), Mn terutama diserap dalam bentuk Mn2+ sesudah
dilepaskan dari khelat atau direduksi dari oksida valensi tinggi dipermukaan
akar. Menurut Barber et al. dalam Havlin et al.(1999) jumlah hara Mn yang diserap tanaman melalui pergerakan
aliran massa lebih besar daripada melalui intersepsi akar dan tidak ada yang
diserap melalui difusi. Ion Mn2+ dalam
larutan tanah berpindah bersama aliran air ke akar akibat transpirasi tanaman,
intersepsi akar memperpendek jarak yang harus ditempuh unsurunsur hara untuk mendekati akar melalui aliran massa
ini.
Akar Slamet memperoleh angka serapan Mn terendah dibandingkan
akar Tanggamus dan akar Anjasmoro, serapan hara Mn pada akar Tanggamus tidak
berbeda nyata dengan akar Anjasmoro menurut analisis statistik. Untuk serapan
Mn pada tajuk, Anjasmoro memiliki angka serapan hara tertinggi dibanding
Tanggamus dan Anjasmoro, antara varietas Tanggamus dan Slamet tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada tajuk.
Dilihat dari total serapan hara Mn oleh Anjasmoro (58,04 µg),
Tanggamus (47,35µg) dan Slamet (44,11µg), Slamet mempunyai serapan Mn terendah.
Rendahnya serapan hara Mn oleh Slamet diduga karena Slamet mempunyai toleransi
yang rendah pada tanah gambut dengan ketersediaan Mn rendah, walaupun varietas
ini tergolong toleransi moderat pada lahan pasang surut. Koesrini, Sabran dan
Eddy (1997) menduga Slamet belum mampu beradaptasi dengan baik pada lahan
gambut yang merupakan lahan basah dengan tingkat kemasaman yang tinggi.
Varietas ini memiliki toleransi terhadap tanah masam yang berada di lahan kering
bukan di lahan basah.
Anjasmoro memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memenuhi
kebutuhan hara Mn pada tajuk dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan Anjasmoro dalam memberikan energi kepada akar untuk mengangkut air dan hara ke tajuk dan
kemampuan yang lebih cepat dalam memfungsikan Mn. Menurut Salisbury dan Ross
(1995), ada hubungan antara fungsi akar dan tajuk dalam penyerapan mineral
(hara). Ada dua kendali dalam melihat hal ini. Dalam pengertian “permintaan”,
tajuk akan meningkatkan penyerapan garam mineral oleh akar dengan secara cepat
menggunakan garam mineral tersebut dalam produk pertumbuhan (contohnya
klorofil). Dalam hal “penawaran”, tajuk memasok karbohidrat melalui floem yang
digunakan akar untuk berespirasi menghasilkan ATP; ATP ini membantu penyerapan
garam mineral. Barangkali tajuk juga memasok akar dengan beberapa hormon
tertentu yang mempengaruhi penyerapan akar.
Mn menurut Lakitan (1993) berfungsi sebagai aktivator dari
berbagai enzim, selain itu juga berperan dalam menstimulasi pemecahan molekul
air pada fase terang fotosintesis. Mangan juga merupakan komponen struktural
dari sistem membran kloroplas. Hal ini menjelaskan bahwa Mn lebih berperan pada
tajuk dibanding akar sehingga serapan Mn pada tajuk lebih tinggi dibanding
serapan pada akar.
Titik kritis defisiensi Mn
berkisar 10 dan 20 µg /g berat kering pada daun yang berkembang sempurna
(Marschner, 1995), kedelai menunjukkan defisiensi pada kadar Mn < 15 ppm
(Katyal dan Rhandhawa, tahun tidak tercantum) dan titik kritis toksik berada pada kadar 600 ppm (Marschner, 1995).
Kadar Mn pada Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut adalah 9,99 ppm,
9,15 ppm dan 13,77 ppm. Dengan demikian ketiga varietas yang dicobakan masih
berada dalam keadaan defisiensi Mn.
C. Respon Beberapa Varietas
Kedelai Di Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)
a.
Tinggi Tanaman
Hasil analisis sidik ragam
(Lampiran 12.) menunjukkan bahwa hanya pengaruh utama dosis AJKS yang berbeda
nyata terhadap serapan Mn pada tajuk kedelai, pengaruh utama varietas dan
interaksi tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut
dengan DNMRT disajikan pada Tabel 14.
Dari Tabel 14. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS tidak
diiringi peningkatan tinggi tanaman baik varietas Anjasmoro, Tanggamus maupun
Slamet menurut analisis statistik tapi dari segi angka terdapat peningkatan
tinggi tanaman. Tinggi tanaman yang diperoleh dengan pemberian AJKS telah
melebihi tinggi tanaman yang dipaparkan dalam deskripsi tanaman (Lampiran 1.,
2. dan 3.) Peningkatan tinggi tanaman diduga disebabkan oleh meningkatnya
status hara tanah akibat semakin membaiknya pH tanah akibat pemberian AJKS
(Tabel 4.) dibanding dengan pH tanah awal dan tanpa perlakuan AJKS. Menurut
Hardjowigeno (2001) pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara baik
makro maupun mikro diserap oleh akar tanaman.
Kecukupan unsur hara mempengaruhi pertumbuhan tanaman salah satunya
tinggi tanaman.
Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata terhadap tinggi
tanaman dengan peningkatan dosis AJKS berkaitan dengan serapan Zn tajuk pada
ketiga varietas. Peningkatan dosis AJKS umumnya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap
peningkatan serapan Zn tajuk (Tabel 9.) sehingga diduga merupakan penyebab
tinggi tanaman tidak berbeda nyata juga. Valle (1976) dalam Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa kekurangan Zn
dapat menghambat pertumbuhan batang karena Zn diperlukan untuk membuat hormon
tumbuh indolasetat (auksin) yang berguna untuk memacu pertumbuhan batang.
Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian AJKS 600
kg/ha dengan peningkatan tinggi tanaman sebesar 17,67 cm dibandingkan tanpa
perlakuan AJKS (66,89 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 300 kg/ha
AJKS dan perlakuan 900 kg/ha AJKS. Perlakuan varietas tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Tinggi tanaman yang sama pada ketiga varietas ini diduga
karena kebutuhan hara pada masa pertumbuhan vegetatif sama-sama telah
terpenuhi, peningkatan dosis AJKS tidak begitu mempengaruhi pertumbuhan tinggi
tanaman tetapi setelah memasuki masa pertumbuhan generatif masing-masing
varietas baru menunjukkan respon yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya
perbedaan respon masing-masing varietas terhadap jumlah polong (Tabel 16),
persentase polong kosong (Tabel 17), hasil/pot biji kering (Tabel 18.) dan
bobot brangkasan kering (Tabel 19.). Pertumbuhan vegetatif yang bagus tidak menjamin bahwa pertumbuhan
generatif akan bagus pula.
b.
Ratio Akar dan Tajuk
Analisis sidik ragam pada Lampiran 12. menunjukkan bahwa
pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi kedua
faktor tidak berbeda nyata terhadap ratio akar dan tajuk. Analisis tidak
dilanjutkan dengan uji lanjut.
Menurut hasil analisis statistik, peningkatan dosis AJKS
tidak mempengaruhi ratio akar dan tajuk Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet tetapi
secara angka terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS menurunkan Ratio akar dan
tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan kemampuan
tanaman dalam mentranslokasikan unsur hara dari akar ke tajuk sehingga
pertumbuhan tajuk tanaman lebih besar. Menurut Salisbury dan Ross (1995),
kecuali beberapa spesies tumbuhan gurun tertentu yang mempunyai sistem
perakaran yang luar biasa besar, kebanyakan tumbuhan mencurahkan sebagian besar
biomassanya pada tajuk. Penyerapan garam mineral sebagian dikendalikan oleh
aktivitas tajuk. Dalam pengertian permintaan, tajuk akan meningkatkan
penyerapan garam mineral oleh akar dengan secara cepat menggunakan garam
mineral tersebut dalam produk pertumbuhan misalnya protein, asam nukleat dan
klorofil, sehingga pertumbuhan tajuk lebih besar dari akar.
c.
Jumlah Polong Kedelai
Analisis sidik ragam memperlihatkan adanya perbedaan nyata
pengaruh utama dosis AJKS, pengaruh utama varietas kedelai dan interaksi
keduanya terhadap jumlah polong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut
(Lampiran 12.). Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada
taraf 5 % disajikan pada Tabel 16.
Dari Tabel 16. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS
meningkatkan jumlah polong Varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro.
Peningkatan jumlah polong berkaitan dengan adanya tambahan hara dari AJKS. Dari
analisis kandungan hara diketahui bahwa AJKS mengandung hara makro dan mikro
seperti K (24,58%), P (0,02%), Ca (1,79%), Mg (1,5%), Cu (0,11 ppm), Zn (0,14
ppm), Fe (0,36 ppm) dan Mn (0,14 ppm) sehingga dengan pemberian AJKS dapat
menambah ketersediaan unsur hara diatas untuk tanaman. Menurut Roesmarkam dan
Yuwono (2002) Cu ikut berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Apabila
tanaman kekurangan Cu maka sintesa protein akan terganggu sehingga pembungaan
dan pembuahan menjadi terganggu, sehingga pembentukan polong kedelai juga
terganggu.
Jumlah polong tanaman kedelai tertinggi diperoleh pada
perlakuan 900 kg/ha AJKS pada Anjasmoro (41,00 buah) sedangkan jumlah polong
terendah diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada Anjasmoro (10,67
buah). Pada perlakuan tanpa pemberian AJKS, jumlah polong Anjasmoro lebih
sedikit dibanding Tanggamus dan Slamet tetapi sejalan dengan peningkatan dosis
AJKS dari 300 kg/ha AJKS, 600 kg/ha AJKS sampai 900 kg/ha AJKS, jumlah polong
Anjasmoro meningkat lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Pada dosis
300 kg/ha, Tanggamus sudah memperlihatkan peningkatan jumlah polong sedangkan
Slamet baru menampakkan perbedaan pada dosis 600 kg/ha AJKS terhadap perlakuan
tanpa AJKS.
Perbedaan jumlah polong diantara ketiga varietas ini diduga
disebabkan perbedaan laju proses fotosintesis selama fase reproduktif,
Anjasmoro memperlihatkan laju fotosintesis yang lebih tinggi. Pernyataan ini
didukung dari hasil pengamatan berat brangkasan kering Anjasmoro yang lebih
tinggi dari Tanggamus dan Slamet (Tabel 18.)
Pertumbuhan bagian atas yang baik akan menunjang proses fotosintesis
selama periode pengisian biji. Gardner et
al. (1991) menjelaskan bahwa fotosintesis selama periode pengisisan biji
biasanya menjadi sumber yang terpenting untuk berat panen biji.
d.
Persentase polong Kosong
Pengaruh utama dosis dan pengaruh utama varietas kedelai
masing-masing berbeda nyata terhadap persentase polong kosong, begitu pula
interaksinya (Lampiran 12.). Pengaruh pemberian AJKS terhadap persentase polong
kosong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut yang telah dianalisis secara
statistik dan diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel
17.
Tabel 17. memperlihatkan bahwa terdapat korelasi
positip antara penambahan AJKS dengan penurunan persentase polong kosong. Pada
perlakuan tanpa pemberian
AJKS, 100 % polong
Anjasmoro tidak berisi, tetapi dengan peningkatan dosis AJKS terjadi
penurunan polong kosong sebesar 55,45%-77,25%. Penurunan polong kosong
Tanggamus sudah terlihat pada dosis 300 kg/ha tetapi Slamet baru memperlihatkan
perbedaan dengan tanpa perlakuan AJKS pada dosis 600 kg/ha. Persentase polong
kosong tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada varietas
Anjasmoro yaitu sebesar 100 % sedangkan persentase jumlah polong terendah
diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu
sebesar 22,75 %.
Tingginya persentase polong kosong pada perlakuan tanpa pemberian AJKS disebabkan karena
rendahnya ketersediaan unsur hara mikro dan diduga adanya asam-asam organik
meracun yang dalam dosis tinggi bisa
meracuni tanaman. Asam organik yang tinggi diindikasikan dengan rendahnya pH
tanah gambut. Vaughan, Malcolm dan Ord (1985) dalam Prasetyo (1996) menyatakan bahwa pengaruh fitotoksik
asam-asam organik dari dekomposisi bahan organik terhadap tanaman meliputi
penundaan atau penghambatan pertunasan biji, pertumbuhan kerdil, perusakan
sistem perakaran, menghambat penyerapan hara, klorosis, layu dan mematikan
tanaman. Selain itu juga mengganggu proses metabolisme seperti respirasi dan
sintesis asam nukleat atau protein sementara pengisian polong membutuhkan
protein yang tinggi karena (Pitojo, 2003) biji kedelai mengandung protein yang
tinggi. Permasalahan kandungan asam organik yang tinggi menurut Hanibal (1995)
dapat juga dicegah dengan penggunaan AJKS karena mengandung logam kation
polivalen seperti Fe, Cu, Zn, dan Mn yang bisa membentuk khelat dengan asam
organik sehingga dapat mengurangi aktivitas dan keracunan asam organik.
Selain itu pemberian AJKS juga dianggap dapat menambah
ketersediaan hara makro seperti K, P, Ca, Mg. Dari hasil analisis kandungan
hara AJKS dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanibal, Sarman dan Gusniwati
(2001) menunjukkan bahwa AJKS mengandung unsur hara K berbentuk senyawa K2O
(36,48 %), P2O5 (4,79 %), MgO (2,63 %), CaO (5,46 %), Mn
(1230 ppm), Fe (3450) ppm, Cu (183 ppm), Br (125,43) ppm, Zn (28 ppm) dengan pH
berkisar 11,9 – 12,0. Sementara itu
AJKS menurut Nainggolan (1992) juga mengandung SiO2
(3.33 %), CaO (5.85 %) MgO (2.63 %), Al2O3 (4.71
%), Fe2O3) (18.34 %), SO3 (3.0 %), Na2O
(1.8 %) dan K2O (27.26 %). Panjaitan, Sugiono dan Sirait (1983)
dalam penelitiannya melaporkan bahwa AJKS mempunyai kandungan unsur hara Kalium
yang tinggi, disamping kandungan unsur hara lain seperti Fosfor dan Magnesium.
Unsur K sangat berperan dalam proses pembentukan polong dan
polong bernas pada tanaman kedelai. Semakin tinggi K maka pembentukan dan
pengisian polong semakin berjalan sempurna (Hanibal, 1995). Dengan demikian
AJKS dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah polong bernas kedelai melalui
sumbangan haranya terutama K yang tinggi
yang terkandung di dalam AJKS.
e.
Hasil/ Pot biji kering
Dari analisis sidik ragam terlihat bahwa pengaruh utama dosis
AJKS, pengaruh utama varietas dan
interaksinya berbeda nyata terhadap hasil/pot biji kering kedelai
(Lampiran 12. ) Hasil analisis statistik pengaruh pemberian AJKS terhadap bobot
biji kering beberapa varietas kedelai pada tanah gambut disajikan pada Tabel
18.
Dari Tabel 18. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS
meningkatkan hasil/pot biji kering kedelai. Peningkatan hasil/pot biji kering
pada Tanggamus berkisar 1,07 g1,94 g, Slamet berkisar 0,09 g-0,49 g sedangkan
Anjasmoro berkisar 1,28-3,48 g. Peningkatan hasil/pot biji kering ini kalau
dikonversi ke dalam hasil produksi perhektar masih tergolong sangat rendah. Hal
ini diduga bahwa dosis AJKS yang diberikan belum mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hara tanaman kedelai baik makro dan mikro. Rendahnya bobot biji
berkaitan dengan jumlah polong yang rendah dan tingginya persentase polong
kosong.
Pemberian AJKS belum mampu mencapai pH tanah yang ideal untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman, padahal pH tanah yang ideal akan meningkatkan
status kesuburan tanah yaitu dengan peningkatan kelarutan unsur hara baik unsur
hara makro maupun mikro seperti Cu, Zn, Fe dan Mn. Hara Cu, Zn, Fe dan Mn juga
menentukan hasil/pot biji kering tanaman kedelai karena menurut Hardjowigeno
(2001) Zn berperan dalam pematangan biji dan merupakan katalis pembentukan
protein, Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan merupakan penyusun enzim
dan protein, Cu berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein sementara Mn
berperan dalam fotosintesis. Sementara tanah belum mampu menyediakan
unsurunsur ini sesuai dengan kebutuhan
tanaman sebagaimana yang dinyatakan Sutanto (2005) bahwa kemampuan tanah
sebagai habitat tanaman untuk menghasilkan bahan yang dapat dipanen sangat
ditentukan oleh tingkat kesuburannya. Kesuburan tanah (Dikti, 1991) adalah
kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah yang berimbang untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman.
Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa keseimbangan hara dalam
tanah merupakan faktor penting bagi kelancaran metabolisme yang erat
hubungannya dengan pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman yang dihasilkan.
Hal ini pada akhirnya sangat menentukan besarnya bobot kering biji. Amelioran
AJKS memiliki kadar K yang tinggi, menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) umumnya
penyerapan K tinggi menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg dan Na turun. Unsur
yang mempunyai pengaruh saling berlawanan dan satu sama lain saling mengusir
disebut antagonis. Oleh karena itu perlu ketersediaan unsur berimbang optimal.
Sehingga selain AJKS perlu ditambahkan pupuk atau bahan amelioran lain yang
dapat memasok hara sesuai kebutuhan tanaman.
Hasil/pot biji kering tertinggi diperoleh pada perlakuan
pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 3,48 g sedangkan
hasil/pot biji kering terendah diperoleh pada perlakuan tanpa perlakuan AJKS
pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 0,00 g. Pada perlakuan tanpa pemberian
AJKS, Anjasmoro tidak menghasilkan biji kering karena semua polong yang
dihasilkan pada perlakuan ini tidak berisi. Hal ini diduga disebabkan karena
Anjasmoro adalah kedelai yang peka terhadap tanah gambut tetapi mempunyai
respon yang lebih besar terhadap pemberian AJKS dibandingkan Tanggamus dan
Slamet. Slamet memiliki respon yang rendah terhadap peningkatan dosis AJKS,
respon baru terlihat pada dosis 600 kg/ha. Hal ini berkaitan dengan daya serap
tanaman ini terhadap unsur hara mikro yang juga rendah.
Anjasmoro merupakan
varietas yang peka pada tanah gambut tetapi dengan pemberian AJKS, varietas ini
ternyata memiliki respon dan efisiensi hara yang lebih tinggi dibanding
Tanggamus dan Slamet. Hal ini dilihat dari kemampuannya dalam menghasilkan
hasil/pot biji kering dan bobot brangkasan kering yang lebih besar dari
Tanggamus dan Slamet. Hasil/pot biji kering yang masih rendah pada Anjasmoro sebagai varietas terbaik dalam
percobaan ini berkaitan dengan kurangnya nutrisi hara untuk mendukung pengisian
polong pada varietas ini. Jumlah polong yang lebih besar dan persentase polong
kosong yang kecil tidak sebanding dengan bobot biji kering yang dihasilkan.
Waktu matang panen yang dibutuhkan varietas ini (100 hari) lebih lama dibanding
deskripsi varietasnya (82,5-92,5 hari) dan membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan Tanggamus (77 hari) dan Slamet (81 hari) sementara media tanah di
dalam polybag telah mengalami penurunan sebesar ± 10 cm. Hal ini mengakibatkan
tanaman kekurangan energi untuk pengisian polong sehingga polong berisi tapi
tidak bernas. Cepatnya penurunan tanah disebabkan karena gambut telah
kehilangan sebagian besar kandungan airnya seperti yang terjadi pada lahan
gambut dengan over drainase.
f.
Bobot Brangkasan Kering
Dilihat dari sidik ragam (Lampiran 12.) terdapat perbedaan
nyata antara dosis AJKS dan Varietas kedelai terhadap bobot brangkasan kering
varietas kedelai pada tanah gambut. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut
dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. memperlihatkan bahwa bobot brangkasan kering
Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro meningkat sejalan dengan peningkatan dosis
AJKS. Bobot brangkasan kering yang meningkat dengan peningkatan dosis AJKS
diduga karena meningkatnya kemampuan akar tanaman dalam mentranslokasikan air
dan unsur hara melaui xylem ke tajuk
sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk. Hal ini diduga berhubungan
dengan meningkatnya serapan hara pada akar dan tajuk dengan peningkatan dosis
AJKS.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan
900 kg/ha AJKS pada Anjasmoro yaitu sebesar 9,42 g sedangkan bobot brangkasan
kering terendah diperoleh pada perlakuan pemberian 300 kg/ha AJKS pada Slamet
yaitu sebesar 1,79
g. Pada semua level dosis pemberian AJKS, Anjasmoro
memperoleh bobot brangkasan kering tertinggi dibanding Tanggamus dan Slamet.
Perbedaan bobot brangkasan diperoleh sebesar 3,99 g dibandingkan varietas
Slamet dan 2,57 g dibanding Tanggamus. Antara Tanggamus dan Slamet tidak
berbeda nyata menurut analisis statistik tapi secara angka, bobot brangkasan
kering Tanggamus lebih tinggi daripada Slamet.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh varietas
Anjasmoro disusul varietas Tanggamus dan Slamet sehingga diduga varietas
Anjasmoro adalah varietas yang adaptif pada tanah gambut yang masam dengan
kemampuan menyuplai unsur hara untuk tanaman yang rendah. Setiap tanaman
mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap deraan lingkungan, Slamet dan Suyamto
(1977) menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam berkompetisi
terhadap faktor tumbuh yang dikendalikan oleh genotifnya. Daya adaptasi suatu
varietas tanaman adalah interaksi antara lingkungan dengan genotif. Daya
adaptasi ini menyebabkan varietas Anjasmoro dapat memperoleh faktor pertumbuhan
seperti air, hara, cahaya dan karbondioksida untuk menghasilkan biomassanya.
Senyawa anorganik terutama air dan karbondioksida serta unsur hara yang diserap
akar akan memberikan kontribusi terhadap pertambahan bobot kering.
Varietas Anjasmoro memiliki efisiensi hara terbaik dilihat
dari bobot keringnya. Bobot kering menggambarkan efisiensi tanaman dalam
menggunakan unsur hara. Menurut Marschner (1995) tanaman yang efisien
didefinisikan sebagai tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik,
memproduksi bahan kering yang lebih banyak dan mengembangkan gejala kekurangan
hara yang lebih sedikit daripada tanaman lain ketika ditanam pada tingkat unsur
hara rendah atau kurang. Hal ini juga dapat dilihat dari Tabel 18., dimana pada
dosis 300 kg/ha, Tanggamus dan Slamet belum mengalami peningkatan yang nyata
dibandingkan tanpa perlakuan, dengan dosis 600 kg/ha baru terjadi perbedaan
berat kering sedangkan Anjasmoro sudah memperlihatkan perbedaan yang nyata pada
dosis 300 kg/ha dibanding tanpa pemberian AJKS. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan kondisi pemberian hara yang sama, Anjasmoro lebih mampu mempergunakannya
untuk menghasilkan biji kering dan brangkasan kering yang lebih tinggi
dibanding Tanggamus dan Anjasmoro.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian “Studi Ketersediaan dan
Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang
Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit” dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pemberian abu janjang kelapa
sawit (AJKS) secara umum meningkatkan pH tanah dan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan
Mn tanah gambut dan terdapat interaksi antara dosis AJKS dan varietas kedelai
terhadap serapan Cu, Zn dan Fe pada akar dan tajuk Tanggamus, Slamet dan
Anjasmoro, jumlah polong, persentase polong kosong, hasil/pot biji kering dan
brangkasan kering, sedangkan pemberian faktor utama dosis AJKS dan varietas
kedelai berpengaruh nyata terhadap serapan Mn pada akar dan tajuk Tanggamus,
Slamet dan Anjasmoro, tinggi tanaman serta ratio akar dan tajuk.
2. Pemberian 900 kg/ha AJKS
umumnya memberikan hasil tertinggi terhadap semua parameter yang dicobakan pada
penelitian ini. Secara umum diantara tiga varietas yang diuji, varietas
Anjasmoro merupakan varietas yang peka tetapi respon terhadap pemberian AJKS
karena Anjasmoro memperoleh hasil/pot biji kering paling tinggi yaitu sebesar
3,48 g dibanding Tanggamus (2,57 g) dan Slamet (0,69 g) serta menghasilkan
bobot brangkasan kering yang lebih banyak yaitu sebesar 9,42 g dibanding
Tanggamus (4,82 g) dan Slamet (3,38 g).
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto dan R. Widianto.
1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Lahan Kering dan Pasang
Surut. Penebar Swadaya. 75 hal.
Agus, F. dan I. G. M.
Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan.
Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 41
hal.
Amaru, Kharistya. 2000.
Limbah Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 15 hal.
Ambak, K., Abubakar and T.
Tadano. 1992. The effect of Liming and Micronutrien Application on the Growth
of Crop Plants and Occurrence of Sterility in Southern Thailand and Malaysia.
399-409. Dalam: Tropical Peatland.
Prosiding Simposium; Kuching, Serawak 6-10 Mei 1991. Serawak. Malaysian
Agricultural Research and Development Institute (MARDI) and Development of
Agriculture Serawak.
Anonim. 2 Maret 2010. Industri Sawit Diminta Terapkan Zero Waste.
http://economy.okezone.com/read/2010/03/02/320/308146/320/industri-sawitdiminta-terapkan-zero-waste. [28 April 2010].
Asril. 2001. Pertumbuhan dan
Hasil Kedelai yangDiinukolasi dengan Rhizobium
japonicum pada Tanah Gambut Saprik yang Diberi Abu Janjang Kelapa Sawit.
[Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang. 54 hal.
Atman, R. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai
di Indonesia. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Sumbar.
Http://atmanroja.files.wordpress.2009.06/03.kedelaiindonesia.pdf. 2 hal. [28
April 2010].
Badan Litbang Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2009. Deskripsi Varietas
Unggul Kedelai 1918 – 2009. Bogor. 72 hal.
Bangka, B. Pemanfaatan
Limbah Kelapa Sawit. 2010. Http://Budakbangka.blogspot.com/2005/pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit.
[ 28 April 2010].
Buckman, H.O dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah.
Penerjemah: Soegiman.
Terjemahan dari: Soil
Science. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut
Indonesia. Hal 352-359. Dalam:
Tantangan, Prospek dan Pelestarian. Tanah gambut Untuk Perluasan Pertanian.
Proseding Seminar: Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian
Universitas Islam Sumatera Utara.
Departemen Pertanian, 2006. Usaha Pengembangan Kedelai. http : // www. Deptan.go.id/infoeksekutif/tan/tp
2006/Lp kedelai, 2htm. [6 Maret 2006].
Djoefrie, B. 1982.
Substitusi Pupuk KCl dengan Limbah Kelapa Sawit Untuk Tanaman Cengkeh dan
Kedelai. Jurnal Agrotropika Volume IV (2): 78: 1517. Bogor.
Dikti. 1991. Kesuburan Tanah. 245 hal.
Fitter, A. H. dan K. M. Hay.
1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. 421 hal
Gardner, F. P., Pearce R.
B., Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta. 428
hal.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., M. Nugroho.,
G. Saul., M.A. Diha., M.
Hong., G. B. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu
Tanah. Universitas Lampung. Lampung. 488
hal.
Halim, A dan G. Soepardi.
1987. Perbaikan Tanah Gambut Pedalaman dengan Peningkatan Kejenuhan Basa dalam
Budidaya Tanaman Kedelai. hal 272-276. Yokyakarta. Seminar Nasional Gambut I di
Yogyakarta.
Hanibal. 1995. Pengaruh
Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil
Kedelai pada Ultisol. [Tesis]. PPS Unand. Padang. 156 hal.
Hanibal, Sarman, Gusniwati. 2001. Pemanfaatan Abu
Janjang Kelapa Sawit Pada
Lahan Kering dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan
Nodula Akar, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glaycine max). Fakultas
Pertanian. Universitas Jambi. Jambi.
Hardjowigeno, S. 1996.
Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. Suatu Peluang dan Tantangan.
Fakultas Pertanian IPB.Bogor. 173 hal.
-----------------------. 1989. Sifat-Sifat dan Potensi
Tanah Gambut Sumatera Untuk
Pengembangan Pertanian.Hal 43-70. Dalam: Tantangan, Prospek dan Pelestarian. Tanah Gambut Untuk
Perluasan Pertanian. Proseding Seminar: Medan, 27 Nopember 1989. Medan.
Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akamedika
Pressindo. Jakarta. 284 hal.
Havlin J. L., J. D. Beaton.,
S. L. Tisdale dan W. L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An
Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall. New Jersey. 499 hal.
Hettari, R. 2005. Penetapan
Dosis Unsur Mikro Cu pada Tanah Gambut yang Diberi Kapur Terhadap Hasil Tanaman
Jagung (Zea mays L. Merril). [Skripsi].
Fakultas Pertanian Unand. Padang. 78
hal.
Istina, I., N. Umar dan
Dorlan. 2007. Pengaruh Limbah Abu Tankos Kelapa Sawit Terhadap Hasil Beberapa
Varietas Kedelai Unggul Baru di Lahan PMK. Buletin Inovasi Pertanian. Volume 1.
nomor 2. Desembar 2007. 4 hal.
Katyal dan N. S. Randhawa.
Tahun Tidak Tercantum. FAO Fertilizer and Nutrition Bulletin. Food and
Agricultural Organization of United Nation. hal 82.
Kurniawan, A. 2011. Unsur Hara dan Fungsinya Pada
Tanaman Kedelai.
http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsurunsur-hara-tanaman&catid=47:artikel
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16351/4/Chapter%20II.pdf.
[4 Maret 2011].
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius.
Yokyakarta. 92 hal.
Kuswandi, A. 2009. Unsur
Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai. http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:uns
ur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikel[ 4 April 2009].
Koesrini., M. Sabran., dan
W. Eddy. 1997. Adaptasi dan Toleransi 15 Varietas Kedelai Di Lahan Pasang Surut
Bergambut. Hal: 14-18. Prosiding: Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Palangkaraya.
Lahuddin. 1989. Pengaruh Abu
Janjang Kelapa Sawit Terhadap B dan Zn- tersedia. Buletin I. Pertanian USU. Medan. 8 hal.
Lakitan, B. 1993.
Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 203 hal.
Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV.
Simplex. Jakarta. 32 hal.
Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Politeknik Pertanian Tembilahan dengan Bappeda
Kabupaten Indragiri Hilir. 2006. Penyusunan
Detail Engineering Design (DED) Perkebunan Kelapa Di
Kabupaten Indragiri Hilir. 202 hal
Marschner, H. 1995. Mineral
Nutrition of Higher Plants. Second Edition. AcademicPress. California.
Marwoto dan Suharsono. 2009.
Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodopthera fabricius) pada Tanaman Kedelai. Http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3244083.pdf. [7 May
2010].
Mayerni, R. 2004. Pengaruh
Limbah Pabrik Semen dan Efektif Mikroorganisme Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Rami (Boehmeria nivea)
(L.)Gaud) Pada Tanah Gambut. Stigma Volume XII No.2, April-Juni 2004. 4 hal.
Najiyati, S., L. Muslihat
dan I. I. N Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk
Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate
Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetland International. Indonesia
Programmeand Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. 9 hal.
Nelvia. 1997. Pemupukan
Posphat Alam dan Amelioran Pada Tanah Gambut Terhadap Ketersediaan dan Serapan
P, K, Ca dan Mg oleh Tanaman Jagung. 34-38. Dalam: Identifikasi Masalah Pupuk
Nasional dan Standarisasi Mutu yang Efektif. Prosiding Seminar Nasional: Bandar
Lampung, 22 Desember 1997. Kerjasama Unila dan HITI.
Noor, M. 2001. Pertanian
Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yokyakrta. 174 hal.
Panjaitan, A. Soegiono dan
Sirait, H. 1983. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Perubahan
Kalium Tukar Tanah Pada Podzolik, Regosol dan Aluvial. Balai Penelitian
Perkebunan Medan. Buletin. Vol. 14.No. 4. Medan. 129 hal.
Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai. Seri Penangkaran.
Penerbit Kanisius. Yokyakarta. 17 hal.
Prasetyo, T. B. 1996.
Perilaku Asam-Asam Organik Meracun Pada Tanah Gambut Yang Diberi Garam Na dan
Beberapa Unsur Mikro Dalam Kaitannya Dengan Hasil Padi. [Disertasi]. Progrm
Pasca Sarjana IPB. Bogor. 187 hal.
Prasetiyono, J. dan Tasliah, 2003. Strategi Pendekatan
Bioteknologi Untuk Pemuliaan Tanaman Toleran Keracunan Aluminium. Jurnal Ilmu
Pertanian Vol.10 No.1: 85 hal.
Rachim, A. 1995. Penggunaan
Logam-Logam Polivalen Untuk Meningkatkan Ketersediaan Phospat dan Produksi
Jagung Pada Tanah Gambut. [Disertasi]. PPS IPB. Bogor. 260 hal.
Rahmaneli. 2006. Pengolahan
Minyak di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. Bumi Palma Lestari Persada Kecamatan
Kempas Jaya Kabupaten Indragiri Hilir.
Sawit. [Laporan Magang]. Fakultas Pertanian UNISI.
Tembilahan. 72 Hal.
Ramadoni. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Macam
Pupuk Kalium pada Tanah
Gambut yang Dicampur Aluvial Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Jagung (Zea mays, L.).
[Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 78 hal.
Rosmarkam, A dan N. W.
Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yokyakarta. 224 hal.
Sabiham, S. 1993.
Pemanfaatan Lumpur Daerah Rawa Pasang Surut sebagai Salah Satu Alternatif dalam
Menurunkan Gas Methan dan Asam Phenol pada Gambut Tebal. Hal 267-280. Di dalam
S. Triutomo, B. Setiadi, B. Nurachman, D. Mulyono, E. Nursahid dan Kasiran (Eds.). Prosiding: Seminar Nasional
Gambut II. Jakarta, 14-15. Januari, 1993.
Sagala, D. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas
Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. [Thesis].
Pasca Sarjana IPB. Bogor. 163 hal.
Salisbury, F. B dan C.
W. Ross.
1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2.
Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Penerjemah; Diah R. Lukman dan
Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi Bandung Press.
342 hal.
Salisbury, F. B dan C.
W. Ross.
1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3.
Respon Keracunan dan Toleransi Tanaman Terhadap Logam. Penerjemah; Diah R.
Lukman dan Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi
Bandung Press. 342 hal.
Sarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana
Bandung. 196 hal.
Santoso, D., Suwarto. dan E.
A., Sri. 1983. Penuntun Analisis Tanaman. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. 47
hal.
Setiadi, B. 1996. Gambut:
Tantangan dan Peluang. Editor. Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Departemen
Pekerjaan Umum. 120 hal.
Setyamidjaya, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan Simplex.
Jakarta.
Slamet dan Suyamto. 1997.
Tanggap Genotif Kedelai Terhadap Cara Tanam Tumpang Sari dengan Jagung Varietas
Wisanggeni. [Abstrak Agronomi Edisi Khusus]. Balitkabi. Malang. 1 hal.
Sopher C. D. dan J. V.Braird 1976. Soils And Soil
Management. Weston Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar