Jumat, 29 Januari 2016

Makalah Nutrisi Tanaman Agus umby

MAKALAH NUTRISI TANAMAN

STUDI KETERSEDIAAN DAN SERAPAN HARA MIKRO SERTA HASIL BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TANAH GAMBUT YANG

DIAMELIORASI ABU JANJANG KELAPA SAWIT

Disusun Oleh :
Dennys Y.P 14011059
Agus Hartanto 14011060
Yogi Prayugo 14011061
Fery Setiawan 14011062
Luqman Al Hakim 14011063
Agus Ardianto 14011064
Adwitya Aksami 14011065
David Novianto N. 14011066
Viki Zain Hanafi 14011067
Sarmauli Pasaribu 14011070
Jum’at, 8 Januari 2016
Program Studi Agroteknologi
Fakultas Agroindustri
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Yogyakarta

2016
KATA PENGANTAR

              
              Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerahNya kepada kita semua. Terima kasih kita sampaikan kepada dosen pengampu, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu melancarkan pembuatan Makalah Nutrisi Tanaman.
              Pembuatan Makalah merupakan salah satu tugas mahasiswa setelah melaksanakan Presentasi Kuliah Nutrisi Tanaman  di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Banyak hal yang kami peroleh setelah melaksanakan kegiatan tersebut. Hal-hal yang kami peroleh tersebut dapat kami jadikan bahan dalam menyusun Makalah ini. Jadi makalah ini didasarkan atas pengalaman dan hal-hal yang kami alami selama melakukan Presentasi Nutrisi Tanaman yang berjudul “Studi Ketersediaan dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit”
              Dibutuhkan kerjasama untuk menyusun Makalah ini. Kerjasama juga dibutuhkan dalam menentukan terselesaikannya makalah yang dibuat. Oleh karena itu kami berusaha menggalang kerjasama dengan semua pihak untuk kelancaran dan keberhasilan pembuatan makalah ini. Selain itu, kami juga mendapat beberapa kendala saat presentasi maupun pada waktu penyusunan makalah. Tetapi kami terus berusaha untuk menghadapi segala rintangan dan kendala yang ada.
           Selain itu, kami juga mengharap kritik dan saran dari semua pihak yang dapat kami jadikan koreksi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan dengan sebaik mungkin sehingga akan menghasilkan hasil yang memuaskan dan sesuai keinginan.
                                                                                                           

Yogyakarta Januari 2016


Penulis,
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
              I.     PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A.  Latar Belakang.............................................................................  1
           II.     METODOLOGI................................................................................ 3
A.  Bahan dan Alat............................................................................. 3
B.  Rancangan Percobaan................................................................... 3
C.  Pelaksanaan Penelitian.................................................................. 4
a.       Persiapan Tanah.......................................................................  4
b.      Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit.....................................  4
c.       Pemupukan............................................................................... 4
d.      Penanaman...............................................................................  5
e.       Pemeliharaan dan Penjarangan................................................  5
f.       Pemanenan...............................................................................  5
        III.     HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................            6
A.    Ketersediaan Hara Mikro............................................................. 6
B.     Serapan Hara Mikro................................................................... 10
C.     Respon Beberapa Varietas terhadap AJKS..................................21
        IV.     KESIMPULAN.................................................................................31
           V.     DAFTAR PUSTAKA
I.        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan terpenting setelah padi dan jagung. Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian mengingat arealnya yang masih tersedia cukup luas yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut BB Litbang SDLP (2008) dalam Agus dan Subiksa (2008), Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis yaitu sekitar 21 juta ha.
Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di tanah gambut. Salah satu faktor penghambat budidaya tanaman di tanah gambut adalah rendahnya ketersediaan unsur hara mikro. Rendahnya kandungan unsur hara mikro pada tanah gambut disebabkan karena unsur hara mikro berasal dari tanah mineral sementara tanah gambut adalah tanah organik. Kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut juga menyebabkan rendahnya ketersediaan hara mikro karena dekomposisi bahan organik pada keadaan anaerob pada tanah gambut menghasilkan asam-asam organik yang menurut Rachim (1995) menyebabkan hara mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Penambahan unsur hara mikro dapat dilakukan dengan pemberian amelioran. Abu janjang kelapa sawit () dapat digunakan sebagai salah satu amelioran di tanah gambut karena mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan memiliki kejenuhan basa yang tinggi dimana kandungan kationnya bisa mengusir senyawa beracun apabila ketersediaannya mencukupi.
Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7 % P2O5, 9 % CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2009). Soepardi (1983) menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan jumlah ketersediaan unsur hara P, K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.
Abu janjang kelapa sawit bisa berasal dari hasil limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incenerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik Kelapa Sawit yang menurut Surono (2009) mencapai 21% dari TBS yang diolah.
Varietas kedelai yang biasa digunakan pada tanah gambut adalah varietas yang biasa di tanam di lahan pasang surut bukan varietas spesifik lokasi tanah gambut. Hal ini dikarenakan tanah gambut merupakan salah satu jenis tanah yang terdapat di lahan pasang surut yang umumnya tergenang atau permukaan air tanahnya dangkal. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji oleh Sagala (2010) di lahan pasang surut dengan budidaya jenuh air (BJA) menghasilkan berturut-turut 105; 96; 40 dan 42 buah polong/tanaman pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah.






II.                METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Februari 2011, bertempat di rumah kawat Fakultas Pertanian Universitas Islam Indragiri Tembilahan, Kecamatan Tembilahan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Analisis tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
A.    Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah gambut, benih edelai varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Rhizogin, Urea (45 % N), SP36 (36 % P2O5),  KCl (50 % K2O), dolomit. Alat yang digunakan adalah polybag, cangkul, meteran, alat tulis dan peralatan laboratorium.
B.     Rancangan Percobaan
Penelitian ini mengunakan rancangan petak terpisah. Percobaan terdiri dari dari 2 seri dimana seri pertama (I) dipergunakan untuk analisis tanah setelah inkubasi dan analisis jaringan tanaman pada saat fase vegetatif maksimum untuk melihat ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut dan serapan hara Cu, Zn, Fe dan Mn oleh beberapa varietas kedelai yang diameliorasi . Seri kedua (II) dipergunakan untuk  melihat pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai yang diameliorasi .
Petak utama adalah 3 varietas kedelai (1 varietas toleran lahan pasang surut, 1 varietas toleran moderat lahan pasang surut dan 1 varietas peka lahan pasang surut) yang terdiri dari :
V1 = varietas Tanggamus (toleran)
V2 = varietas Slamet (moderat)
V3 = varietas Anjasmoro (peka)
Anak petak adalah 4 dosis pemberian  yang terdiri dari :
            A0 = Tanpa perlakuan     = 0 g / polybag
A1 = 300 kg /ha               = 2,5 g / polybag
A2 = 600 kg /ha               = 5,0 g / polybag
A3 = 900 kg /ha               = 7,5 g / polybag
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji F. Apabila memperlihatkan hasil berbeda nyata, dilanjutkan dengan DNRMT (Duncan’s New Multiple Range Test). Penempatan masing–masing perlakuan dilakukan secara acak.
Denah penempatan satuan percobaan di rumah kawat disajikan pada Lampiran 4.

C.     Pelaksanaan Penelitian

a.       Persiapan Tanah

Tanah diambil secara bulk composite pada kedalaman 0-20 cm, kemudian membersihkannya dari akar dan kotoran yang ada. Tanah dikeringanginkan sampai kondisi lembab. Tanah diambil sebanyak 500 g untuk analisis tanah awal, kemudian menimbang tanah sebanyak  10 kg atau 2,5 kg setara kering mutlak dan memasukkannya ke dalam masing-masing polybag dengan penghitungannya dengan rumus = (% kadar air tanah x berat setara kering mutlak) + berat setara kering mutlak yaitu (300 % x 2,5 kg) + 2,5 kg = 10 kg

b.      Pemberian  Abu Janjang Kelapa sawit

Mencampur rata dengan tanah gambut yang dipakai  sebagai media sesuai perlakuan yaitu tanpa perlakuan , 300 kg/ha , 600 kg/ha  dan 900 kg/ha  yang dikonversikan ke dalam polybag dengan berat tanah 2,5 kg setara berat kering. Tanah kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Analisis kandungan hara dapat dilihat pada Lampiran 5.

c.       Pemupukan

Pemupukan dasar dilakukan setelah tanah diinkubasi selama 2 minggu dengan takaran 50 kg Urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl (Deptan, 2006) dengan cara tugal di samping tanaman. Pemberian dolomit sebesar 500 kg/ha ditujukan untuk penambahan hara Ca dan Mg. Semua pupuk diberikan sekaligus pada saat tanam.

d.      Penanaman

Penanaman benih kedelai dengan cara tugal  sedalam 3 cm  sebanyak 2 biji perlubang. Sebelum ditanam, benih diinukolasi terlebih dahulu dengan cara mencampurkan rhizogin dengan perbandingan 7,5 g inukolan untuk 1 kg benih kedelai (Pitojo, 2003). Benih dikeringanginkan dan segera ditanam.

e.       Pemeliharaan dan penjarangan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma dan hama penyakit. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari sampai kondisi tanah lembab atau sekitar kapasitas lapang. Pengendalian gulma dilakukan secara manual 1 minggu sekali atau melihat kondisi gulma di polybag. Pencegahan hama dilakukan dengan menyemprotkan Ripcord 3 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter sedangkan pencegahan penyakit dilakukan dengan menyemprotkan Dithane M-35 dengan konsentrasi 2 g/l, dilakukan setiap 2 minggu sekali sejak tanaman berumur 14 hari setelah tanam. Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 7 – 14 hari setelah tanam sedangkan penjarangan dilakukan pada umur 14 hari setelah tanam (Soeprapto, 2002) dengan mempertahankan 1 batang tanaman/ polybag .
f.       Pemanenan
Panen pertama dilakukan pada percobaan seri pertama (I) yaitu pada fase vegetatif maksimum dimana tanaman berumur sekitar 30 hari setelah tanam (tergantung varietasnya) yang ditandai dengan keluarnya primordia bunga pertama untuk ditentukan serapan haranya. Panen kedua untuk pengamatan  komponen hasil tanaman dilakukan pada percobaan seri kedua (II) yaitu fase generatif saat umur tanaman sekitar 90 hari setelah tanam atau pada saat tanaman telah menunjukkan tanda-tanda matang panen.

III.             HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Ketersediaan Hara Mikro Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

Dari Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10.) dapat dilihat bahwa pemberian AJKS berpengaruh nyata terhadap ketersediaan hara Cu, Zn, Fe dan Mn. Pengaruh pemberian AJKS terhadap ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn  pada tanah gambut setelah inkubasi selama 2 minggu  serta hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5 % ditampilkan pada Tabel 5. Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa hara Cu, Zn, Fe dan Mn meningkat ketersediaannya dengan pemberian AJKS dibandingkan tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis pemberian AJKS secara keseluruhan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Cuprum mengalami peningkatan ketersediaan sebesar 2,17-19,73 ppm, Zn sebesar 7,08-13,89 ppm, Fe sebesar 11,71-31,12 ppm  dan Mn sebesar 2,70-6,55 ppm dibanding tanpa perlakuan AJKS. Ketersediaan  hara Cu, Zn, Fe dan Mn tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg AJKS/ha yaitu berturut-turut sebesar 36,48 ppm, 48,55 ppm, 78,36 ppm dan 23,41 ppm.

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS) Terhadap Cu-dd,
Zn-dd, Fe-dd dan Mn-dd Pada Tanah Gambut Setelah Inkubasi Selama 2 Minggu
Dosis AJKS (Kg/ha)
Cu
Zn
Fe
Mn

ppm



0
300
600
900
16,75c 18,92c
26,64b
36,48a
34,66c
41,74b
46,94a
48,55a
47,24d
58,95c
66,12b
78,36a
16,86c
19,56b
22,94a
23,41a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pad taraf 5 % menurut uji DNMRT.
Kriteria ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn pada tanah gambut belum ada, sehingga dalam penelitian ini digunakan rujukan kriteria ketersediaan hara mikro secara umum (mungkin untuk tanah mineral). Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kadar Cu dinyatakan rendah apabila berada pada kisaran 15-25 ppm dan sedang pada kisaran 25-75 ppm. Kadar Cu pada pemberian AJKS 600 kg/ha adalah 26,46 ppm sehingga dapat dinyatakan telah mulai memasuki kriteria sedang begitu juga dengan pemberian AJKS 900 kg/ha. Kadar Zn pada dosis 900 kg/ha AJKS masih berada dalam kriteria rendah (48,55 ppm), menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn pada kriteria rendah berkisar antara 20-50 ppm. Kadar Fe akibat pemberian 300 kg/ha AJKS sudah mencapai kriteria sedang (78,36 ppm), menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) kadar Fe pada kisaran 50-250 ppm termasuk kriteria sedang. Mangan tersedia pada Pemberian 900 kg/ha AJKS diperoleh sebesar 32,41ppm, berkemungkinan masih termasuk rendah karena kadar Mn dalam tanah menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) berkisar antara 20 ppm sampai 1000 ppm.
Ketersediaan Cu  yang telah mencapai kriteria sedang pada dosis 600 kg/ha AJKS diduga karena sumbangan pelepasan Cu dari khelat Cu pada tanah. Bahan pengompleks Cu pada tanah sampel penelitian diduga mempunyai berat molekul rendah sehingga kestabilan Cu menjadi lebih rendah. Menurut Stevenson (1984), kestabilan senyawa khelat dipengaruhi berat molekul dan bahan pengompleksnya.
Ketersediaan Fe sudah mencapai kriteria sedang pada pemberian dosis 300 kg/ha AJKS, hal ini berkaitan dengan ketersediaan Fe pada tanah awal memang tidak begitu rendah. Hal ini diduga disebabkan karena tanah gambut yang dicobakan lokasinya berada tidak jauh dari tanah Aluvial yang mengandung sulfat masam. Diduga terjadi penyusupan Fe melalui pengaruh air pasang surut.Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), di Indonesia, kadar Fe pada tanah pasang surut dan tanah gambut bervariasi sedang sampai sangat tinggi.
Peningkatan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn disebabkan karena adanya penambahan hara Cu, Zn, Fe dan Mn dari pemberian AJKS. Dari hasil analisis kandungan hara, ternyata AJKS yang digunakan pada percobaan ini selain mengandung hara makro juga mengandung Cu sebesar 8,97 ppm, Zn sebesar 71,9 ppm, Mn sebesar 53,1 ppm dan Fe sebesar 188,2 ppm (Lampiran 5.). Menurut Buckman dan Brady (1982), kelebihan abu antara lain mengandung semua unsur hara secara lengkap baik mikro maupun makro (kecuali N karena pembakaran abu yang sempurna menghilangkan unsur N). Penambahan AJKS dapat meningkatkan aktifitas asam-asam organik sehingga terjadi pelarutan mineral – mineral yang berasal dari AJKS sehingga ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah meningkat.
Pemberian dan Peningkatan dosis AJKS meningkatkan pH tanah gambut (Tabel 3.) Menurut Winarso (2005), pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat pada ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo dan Cl) menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5,0-7,0; 5,0-7,0; 4,0-6,5 dan 5,0-6. Sopher and Baird (1976) menyatakan bahwa pada range pH 4,0-6,0, peningkatan pH tanah berpengaruh kuat terhadap penurunan ketersediaan Zn, Fe dan Mn tetapi tidak begitu kuat mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu. Nilai pH tertinggi akibat pemberian AJKS yang diperoleh pada percobaan ini baru mencapai 4,13 sehingga diduga belum begitu besar untuk mempengaruhi penurunan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn.
Krauskoff (1972) dalam Suryanto (1991) mengemukakan bahwa bentuk Cu dalam tanah sangat tergantung pada pH tanah. Pada pH agak tinggi Cu berbentuk ion kupri (Cu2+) dan tidak mengendap. Pada pH yang lebih tinggi bentuk Cu(OH)+ lebih dominan dalam larutan tanah. Akan tetapi pada pH alkalis terjadi pengendapan Cu seperti bentuk CuO, Cu2O atau Cu(OH)2. Sebaliknya pada pH yang sangat rendah sering diendapkan oleh adanya H2S dan membentuk CuS atau Cu2S. Hasil penelitian Syukur, Radjagukguk dan Roesmarkam (1985) dalam Suryanto (1991) menunjukkan peningkatan pH dri 4,5 menjadi 6,7 dapat menurunkan kelarutan Cu dari 6 ppm menjadi kurang dari 2 ppm. Reuther (1957) dalam Suryanto (1991) menjelaskan bahwa tanah akan mengikat Cu dengan kuat pada pH 7-8 sebaliknya ikatan ini semakin melemah dengan menurunnya pH. Tisdale dan Nelson (1975) melaporkan bahwa Cu dapat ditukar menurun dengan naiknya pH.
Menurut Seatz dan Jurinak (1957) dalam Suryanto (1991) pada kisaran pH 5.5-7.0 ketersediaan Zn menurun. Kelarutan ini meningkat dengan makin rendahnya pH dan menurun dengan makin tingginya pH. Sims dan Patrick (1978) dalam Suryanto (1991) melaporkan bahwa kenaikan pH dari 6,0 menjadi 7,5 dapat menurunkan kandungan Zn sebanyak 39 %.
Kelarutan Fe dan Mn juga dipengaruhi pH tanah. Kathyal dan Rumawa (tahun tidak tercantum) menjelaskan bahwa kelarutan Fe sangat tergantung kepada pH tanah, terjadi penurunan kelarutan Fe sebesar kelipatan 1000 per unit peningkatan pH. Tanaka dan Yoshida (1970) dalam Roesmarkam menyatakan bahwa mulai pada pH 6,5 sampai reaksi netral dan alkalis dapat terjadi kekahatan mangan dan sebaliknya bila pH tanah rendah kemungkinan akan terjadi keracunan. Pada pH netral sampai alkalis pengendapan Mn terjadi berupa MnCO3, oksida dan hidroksida Mn2+. Bentuk hidroksida unsur ini yang bervalensi besar menurut Buckman dan Brady (1982) tidak dapat larut untuk mensuplai ion yang diperlukan tanaman.
Contoh reaksi yang menerangkan hubungan penurunan kelarutan unsur hara mikro (kation) dengan peningkatan pH tanah adalah sebagai berikut:
Zn++ + 2OH                        Zn(OH)2

                                         Larut                              tidak larut
Jika pH naik, bentuk ion dari kation hara mikro yang semula mudah larut diubah menjadi hidroksida atau oksida yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.

B.     Serapan Hara Cu, Zn, Fe dan Mn Pada Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

a.       Serapan Hara Cu

Cu Pada Akar

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11.) menunjukkan bahwa dosis AJKS dan varietas berbeda nyata terhadap serapan Cu pada akar tanaman kedelai. Interaksi dosis pemberian AJKS dan varietas tanaman kedelai juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil analisis statistik  yang telah diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % disajikan pada Tabel 6.
Dari Tabel 6. terlihat bahwa semua varietas menunjukkan peningkatan angka serapan Cu akar dibanding tanpa pemberian AJKS. Peningkatan dosis AJKS berkorelasi positip terhadap peningkatan serapan Cu akar Tanggamus (1,09 µg-7,46 µg), Slamet (0,97 µg-7,62 µg) dan Anjasmoro (4,22 µg-6,99 µg).
Peningkatan Serapan Cu akar pada semua varietas pada semua level dosis AJKS karena adanya penambahan sumbangan hara Cu pada larutan tanah oleh AJKS sehingga meningkatkan ketersediaan Cu yang dapat diserap oleh akar yang selanjutnya akan ditransportasi ke tajuk melalui pembuluh xylem. Tanah gambut yang tidak diberi AJKS tidak mendapat tambahan hara Cu dari AJKS hanya dari hasil dekomposisi bahan organik  pembentuk tanah itu sendiri. Tanah gambut miskin akan ketersediaan Cu karena menurut Nyakpa et al. (1988) unsur mikro Cu berasal dari pelapukan batuan sementara tanah gambut berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan ribuan tahun yang lalu. Bahan induk cenderung lebih mempengaruhi kandungan akan unsur hara mikro daripada kandungan unsur hara makro.
Selain itu pada tanah yang berkadar organik tinggi  seperti gambut, sebagian besar hara mikro terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972 dalam Setiadi, 1996). Hal ini menerangkan kenapa tanaman pada tanah gambut sering mengalami kekahatan Cu sehingga penambahan Cu ke dalam tanah mutlak dilakukan.
Akar Anjasmoro memiliki nilai serapan Cu tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian AJKS (9,45 µg), pemberian 300 Kg/ha AJKS (13,67 µg) dan pemberian 900 kg/ha AJKS (16,44 µg) tetapi pada perlakuan 600 kg/ha AJKS (10,62 µg), memperoleh nilai terendah dibanding Tanggamus dan Slamet. Slamet memperoleh nilai serapan Cu pada akar terendah hampir pada semua perlakuan kecuali  pada dosis 600 kg/ha (10,88µg) nilai terendah diperoleh oleh Anjasmoro (10,62 µg) tetapi menurut analisis statistik nilai serapan Cu akar antara kedua varietas ini pada dosis 600 kg/ha AJKS  tidak berbeda nyata.
Tanggamus menunjukkan respon intermediet (menengah) terhadap serapan Cu akar baik pada perlakuan tanpa pemberian AJKS maupun peningkatan dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha, varietas ini memperoleh angka serapan Cu akar tertinggi (13,49µg ). Pada perlakuan 900 kg/ha AJKS, ketiga varietas memperoleh nilai yang tidak berbeda secara statistik tetapi secara angka Anjasmoro memperoleh angka serapan Cu akar tertinggi.
Respon varietas yang berbeda yang terjadi pada dosis pemberian 600 kg/ha AJKS terhadap serapan Cu akar diduga karena perbedaan toleransi ketiga varietas terhadap serapan Cu akar. Pada dosis 600 kg/ha laju penyerapan Cu pada akar Tanggamus mengalami peningkatan yang lebih besar (3,46 ppm) dibanding laju penyerapan Cu pada level 300 kg/ha (1,09 ppm) dan level 900 kg/ha AJKS (2,91 satuan). Berbeda dengan Anjasmoro dan Slamet yang pada dosis 600 kg/ha AJKS justru laju penyerapannya lebih rendah dibandingkan pada dosis 300 kg/ha dan 900 kg/ha. Menurut Marschner et.al. (1999), perbedaan toleransi varietas terhadap ketersediaan Cu rendah berhubungan dengan perbedaan laju penyerapan Cu oleh akar dan modifikasi  ketersediaan Cu  pada perbatasan tanah dengan akar oleh eksudat akar.
Penurunan serapan Cu pada akar Anjasmoro pada dosis 600 kg/ha AJKS diduga disebabkan pada level ini protein pembawa kation ini berada dalam keadaan jenuh sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi sehingga protein pembawa lain aktif dalam membawa kation ini ke dalam sel. Dosis 900 kg/ha AJKS diduga mampu mengatasi kejenuhan protein pembawa dan mengaktifkan protein pembawa lain sebagaimana menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh pada konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan tidak lagi mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi jika konsentrasi ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain yang berperan dalam serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan protein pembawa yang lain.

Cu Pada Tajuk

Pengaruh Utama varietas kedelai, dosis AJKS serta interaksi antara varietas kedelai dan dosis AJKS berbeda nyata terhadap serapan Cu pada tajuk tanaman kedelai (Lampiran 11.). Hasil analisis statistik  yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % disajikan pada Tabel 7.
Dari Tabel 6. dan 7. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis AJKS cenderung meningkatkan serapan Cu baik pada akar maupun tajuk tanaman semua varietas (Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet). Besarnya peningkatan total serapan Cu oleh tanaman adalah berkisar 21,27µg - 64,65µg. Peningkatan serapan hara Cu pada Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet sejalan dengan semakin meningkatnya dosis AJKS disebabkan adanya peningkatan ketersediaan hara Cu pada larutan tanah akibat pemberian dan peningkatan dosis AJKS (Tabel 5.) Semakin tersedianya hara Cu pada larutan tanah menyebabkan semakin banyak hara Cu yang tersedia untuk diserap oleh akar tanaman dan diteruskan pada tajuk tanaman.
Menurut Mas’ud (1992) hara tembaga diserap akar tanaman dalam bentuk kation Cu2+ melalui suatu proses aktif. Penyerapan Cu2+ akan meningkat dengan meningkatnya kepekatan ion dalam larutan sampai 0,1 mM. Penyerapan Cu akan berkurang jika larutan tanah banyak mengandung Al tetapi ion Zn dan Mn tidak mempengaruhi penyerapan. Unsur Cu umumnya diserap melalui aliran massa, sedikit melalui intersepsi akar dan tidak ada diserap melaui difusi (Barber et.al dalam Havlin et al. 1999).
Anjasmoro memperoleh angka tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian AJKS dan 300 kg/ha AJKS, sementara Tanggamus memperoleh angka tertinggi pada dosis 600 kg/ha dan Slamet memperoleh  angka tertinggi pada perlakuan 900 kg/ha AJKS terhadap serapan Cu tajuk tanaman. Angka Serapan hara Cu tajuk yang rendah pada umumnya ditemui pada Slamet pada semua level dosis kecuali pada dosis 900 kg/ha semua varietas menunjukkan respon yang sama. Perbedaan respon tanaman terhadap serapan tajuk berkaitan dengan kemampuan akar dalam menyerap Cu pada akar dan kemampuan tanaman dalam mengangkut hara dari akar ke tajuk masingmasing varietas .
Umumnya serapan hara pada tajuk lebih tinggi dibandingkan serapan hara pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Cu yang mempunyai peranan besar dalam fotosintesis yaitu menurut Lakitan (1993) adalah sebagai plastosianin pada kloroplas yang berfungsi sebagai pembawa elektron pada proses fotosintesis. Titik kritis defisiensi Cu pada bagian vegetatif tanaman biasanya berkisar 1-5 ppm tergantung spesies tanaman, organ tanaman, tingkat pertumbuhan dan suplai Nitrogen (Marschner, 1995). Kadar Cu < 10 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi sedangkan > 30 ppm sudah berlebih atau bersifat toksik (Katyal dan Rhandawa, tahun tidak tercantum). Kadar hara tertinggi pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut diperoleh sebesar 8,34 ppm, 8,19 ppm dan 7,82 ppm. Dengan demikian peningkatan kadar Cu pada tanaman dengan penambahan AJKS pada penelitian ini masih berada dalam tingkat defisiensi. (Berat tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut 2,12 g, 2,24 g dan 2,31 g).
b.      Serapan Zn

Zn pada Akar Tanaman

Pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi keduanya berbeda nyata terhadap serapan hara Zn pada akar kedelai (Lampiran 11). Hasil uji lanjut statistik dengan DNMRT pada taraf 5 % perlakuan dosis AJKS dan varietas kedelai terhadap serapan Zn pada akar kedelai disajikan pada Tabel 8.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa pemberian AJKS meningkatkan serapan Zn akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro dibanding tanpa pemberian AJKS. Serapan Zn akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro mengalami peningkatan sejalan peningkatan dosis AJKS. Peningkatan serapan Zn akar pada semua varietas yang dicobakan berkaitan dengan semakin tersedianya Zn pada larutan tanah akibat adanya penambahan Zn dari kandungan AJKS (Tabel 5.). sehingga Zn yang dapat diserap oleh akar juga semakin banyak. Menurut Marschner (1995) peningkatan konsentrasi ion eksternal menunjukkan peningkatan konsentrasi ion di dalam eksudat akar.Angka serapan Zn pada akar tertinggi diperoleh Anjasmoro pada dosis 300 kg/ha AJKS dan 900 kg/ha AJKS sedangkan pada perlakuan tanpa pemberian AJKS  dan dosis 600 kg/ha serapan Zn tertinggi ditemui pada akar Tanggamus. Slamet umumnya mempunyai angka serapan hara akar terendah pada semua level dosis AJKS sementara Tanggamus berada pada level intermediet kecuali pada perlakuan tanpa AJKS dan dosis 600 kg/ha AJKS. Perbedaan serapan Zn akar diantara varietas ini diduga disebabkan perbedaan kepekaan varietas atas rendahnya ketersediaan Zn. Varietas yang peka akan menyerap Zn lebih tinggi. Menurut Marschner (1999) perbedaan tanaman dalam menyerap Zn mungkin disebabkan oleh perbedaan akar tanaman dalam mengeksplorasi Zn pada larutan tanah.

Zn  pada Tajuk

Analisis sidik ragam (lampiran 11.) memperlihatkan bahwa antara pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas kedelai serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap serapan Zn pada tajuk kedelai. Hasil analisis statistik yang telah diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 9.
Dari Tabel 8. terlihat bahwa peningkatan serapan hara Zn pada semua akar varietas kedelai yang dicobakan meningkat dengan semakin meningkatnya dosis AJKS tetapi pada Tabel 9. terlihat bahwa pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro peningkatan serapan Zn baru terlihat pada dosis 600 kg/ha dibanding tanpa pemberian AJKS. Hal ini diduga disebabkan dosis AJKS yang dicobakan masih terlalu rendah untuk mensuplai Zn untuk tajuk tanaman dan range dosis yang dicobakan masih kecil sehingga peningkatan level dosis tidak begitu memperlihatkan perbedaan nyata menurut statistik walaupun peningkatan dosis AJKS yang dicobakan telah meningkatkan serapan akar. Berkemungkinan permintaan tajuk terhadap hara Zn lebih tinggi dari kemampuan akar dalam memenuhinya karena kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap Zn rendah.
Pada dosis 900 kg/ha, serapan hara Zn oleh tajuk Slamet menurun dibandingkan dosis 600 kg/ha. Penurunan serapan pada tajuk Slamet pada dosis 900 kg/ha memperlihatkan bahwa laju serapan Zn pada tajuk Slamet tidak meningkat secara linear dengan peningkatan dosis AJKS dan serapan hara Zn pada akar. Laju serapan bersifat asimptotik yaitu berlangsung lebih cepat dan tidak linear. Pada dosis 600 kg/ha AJKS laju serapan berlangsung lebih cepat (tinggi), diduga pada kondisi ini protein pembawa berada pada kondisi jenuh. Menurut Lakitan (1993), protein pembawa menjadi jenuh pada konsentrasi relatif rendah, setelah jenuh peningkatan konsentrasi larutan tidak lagi mempengaruhi serapan. Kejenuhan pada konsentrasi ini dapat di atasi jika konsentrasi ion tersebut terus ditingkatkan karena ada mekanisme yang lain yang berperan dalam serapan ion pada konsentrasi tinggi yang mungkin melibatkan protein pembawa yang lain. Peningkatan dosis 900 kg/ha AJKS diduga belum cukup untuk mengatasi kejenuhan protein pembawa.
Tajuk Anjasmoro menyerap Zn lebih banyak dibanding tajuk Tanggamus dan tajuk Slamet dimana tajuk Tanggamus menyerap Zn lebih besar dibanding Tajuk Slamet pada semua level dosis. Setiap Spesies dan varietas menurut Marschner (1995) mempunyai kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi Zn. Kedelai dan jagung sangat peka terhadap defisiensi Zn. Tanaman yang peka terhadap Zn rendah berusaha menyerap Zn lebih banyak sehingga meningkatkan kemampuan untuk menyerap Zn, tetapi dibatasi oleh ketersediaan Zn dalam larutan tanah.
Jumlah dan laju serapan hara Zn pada tajuk lebih besar dibandingkan pada akar. Seng lebih dibutuhkan pada tajuk (daun) dibandingkan akar tanaman karena berperan dalam fotosintesis di daun. Hal ini berkaitan dengan fungsi Zn yang menurut Lakitan (1993) berfungsi dalam pembentukan klorofil dan mencegah kerusakan molekul klorofil. Titik kritis toksik pada daun tanaman adalah < 100 µg/g berat kering (Ruano et al., 1988 dalam Marschner, 1995), menurut Mengel dan Kirkby (1987) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002), kadar Zn dalam tanaman berkisar antara 20 ppm -70 ppm. Kadar Zn tertinggi dalam tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat pemberian AJKS dalam penelitian ini berturut-turut 8,03 µg/g berat kering, 6,03 µg/g dan 10,83 µg/g. Harkat Zn dalam daun indikator kedelai 1020 ppm menurut Jones (1967) dalam Roesmarkam dan Yuwono (2002) termasuk kategori rendah.
c.       Serapan Hara Fe

Fe pada Akar

Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 11. dapat diketahui bahwa antara pengaruh utama dosis AJKS dan varietas serta interaksi keduanya memperlihatkan hasil yang berbeda nyata terhadap serapan Fe pada akar tanaman kedelai. Analisis statistik yang diuji dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 10.
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 % menurut uji DNMRT (huruf besar dibaca secara horizontal dan huruf kecil secara vertikal).
Dari Tabel 10. terlihat bahwa terjadi peningkatan serapan Fe pada akar ketiga varietas kedelai yang dicobakan akibat pemberian AJKS. Peningkatan serapan pada akar Tanggamus berkisar 28,65-63,21 µg, pada akar Slamet berkisar 27,89µg62,34µg dan pada akar Anjasmoro berkisar 28,16µg -62,30µg dibandingkan tanpa pemberian AJKS. Peningkatan serapan Fe akar Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro ini disebabkan semakin tersedianya Fe pada larutan tanah akibat adanya penambahan hara Fe yang dilepaskan oleh AJKS (Tabel 5.).
Ketiga varietas menunjukkan respon yang sama hampir pada semua level dosis AJKS kecuali pada dosis 600 kg/ha dimana Anjasmoro menunjukkan respon yang lebih tinggi. Anjasmoro mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menyerap unsur hara Fe dan memiliki respon yang lebih cepat terhadap pemberian AJKS. Hal ini terlihat dari angka serapan hara yang lebih tinggi pada perlakuan tanpa pemberian AJKS dan pada dosis AJKS 600 kg/ha sudah menunjukkan peningkatan angka serapan hara Fe sementara Tanggamus dan Slamet baru memperlihatkan peningkatan hara Fe pada dosis 900 kg/ha AJKS menurut analisis statistik.

Fe pada Tajuk

Dari interaksi dosis AJKS dan varietas terhadap serapan Fe akar (Tabel 10.) dan Tajuk (Tabel 11.) terlihat bahwa serapan hara Fe meningkat dengan meningkatnya dosis AJKS. Peningkatan serapan Fe pada akar dan tajuk tanaman kedelai karena semakin meningkatnya ketersediaan hara Fe pada larutan tanah akibat terlepasnya hara Fe dari AJKS dengan semakin meningkatnya aktifitas asam-asam organik untuk berikatan dengan Fe yang ada dalam kandungan AJKS.
Meningkatnya serapan Fe dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena adanya penambahan hara Fe ke dalam larutan tanah sementara tanah gambut yang tidak diberi AJKS hanya mengharapkan tambahan dari mineralisasi Fe hasil dekomposisi bahan organik penyusun tanah gambut dan dari resapan air laut. Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), Fe adalah elemen yang sukar untuk dipahami sebab kadarnya didalam tanaman dan kadar ketersediannya di tanah tidak selalu dapat dipercaya untuk mendiagnosa defisiensi Fe. Kadar Fe total pada tanah umumnya tidak mengatur kadar nutrisi tanaman. Menurut Havlin et.al (1999) interaksi kation logam dengan Fe dapat menyebabkan stress Fe. Penggunaan P yang berlebihan, kadar Cu, Mn, Zn dan Mo yang tinggi mengganggu penyerapan dan penggunaan Fe oleh tanaman.
Tajuk Anjasmoro menyerap Fe lebih besar dibandingkan tajuk Tanggamus dan Slamet, sementara antara tajuk Tanggamus dan tajuk Slamet memiliki kemampuan yang sama menurut analisis statistik. Hal ini berkaitan dengan respon Anjasmoro yang lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet terhadap pemberian AJKS dan kemampuan akar dalam mengeksplorasi Fe pada larutan tanah yang lebih besar sehingga mampu memenuhi permintaan tajuk akan unsur Fe.
Titik kritis defisiensi Fe pada daun berkisar 50-150 µg Fe /g berat kering sedangkan titik kritis toksik berkisar diatas 500 µg Fe/g berat kering (Marschner, 1995). Kadar Fe tertinggi  pada tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro akibat pemberian AJKS berturut-turut sebesar 62,89 ppm, 66,92 ppm dan 70,01 ppm. Menurut Jones (1972) dalam Katyal dan Rhandawa (tahun tidak tercantum) kadar Fe 28-38 ppm pada kedelai menunjukkan defisiensi, kadar 44-60 ppm adalah normal. Dengan demikian kadar Fe tertinggi pada percobaan ini sudah mencukupi kebutuhan kedelai ketiga varietas yang dicobakan bahkan sedikit melebihi batas normal tetapi belum sampai menyebabkan toksisitas.
Serapan hara Fe pada tajuk lebih besar dibandingkan serapan hara pada akar. Hal ini berkaitan dengan fungsi Fe itu sendiri yang lebih berperan pada bagian atas tanaman. Menurut Lakitan (1993), besi merupakan unsur hara essensial karena merupakan bagian dari protein yang berfungsi sebagai pembawa elektron  pada fase terang fotosintetis dan respirasi

d.      Serapan Hara Mn

Mn pada Akar

Analisa sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara pemberian AJKS dan varietas, tetapi pengaruh utama pemberian AJKS dan pengaruh utama varietas masing-masing menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada akar tanaman kedelai. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % disajikan pada Tabel 12.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn akar tanaman kedelai yaitu sebesar 3,33-11,13µg dibandingkan tanpa perlakuan AJKS. Serapan Mn pada akar tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian dosis 900 kg/ha AJKS. Akar Slamet memiliki kemampuan menyerap Mn yang paling rendah dibandingkan Tanggamus dan Anjasmoro dimana daya serap Mn akar Tanggamus dan Anjasmoro tidak berbeda nyata menurut analisis statistik.

Mn pada Tajuk

Hasil sidik ragam pada Lampiran 11. menunjukkan bahwa pengaruh tunggal dosis AJKS dan pengaruh tunggal varietas kedelai berbeda nyata terhadap serapan hara Mn pada tajuk kedelai tetapi tidak terjadi interaksi yang nyata antara kedua faktor  perlakuan. Hasil statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 13.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan Mn tajuk tanaman kedelai yaitu sebesar (8,80-8,86 µg) dibandingkan tanpa perlakuan AJKS (18,02 µg), tetapi dosis pemberian 600 kg/ha AJKS (26,28 µg) dan 300 kg/ha AJKS (26,82 µg)  tidak berbeda nyata dengan dosis pemberian 900 kg/ha AJKS secara analisis statistik. Tidak terjadinya peningkatan serapan Mn dengan meningkatnya dosis AJKS sampai 900 kg/ha AJKS dikarenakan antagonisme antara Fe dan Mn.
Menurut Katyal dan Randhawa (tahun tidak tercantum), ketersediaan Fe yang tinggi pada tanah dapat menyebabkan defisiensi Mn. Untuk pertumbuhan optimum tanaman, ratio Fe:Mn pada media hara seharusnya berada diantara 1,5 dan 2,5. Nilai diatas 2,5 menyebabkan defisiensi Mn sementara nilai di bawah 1,5 menyebabkan toksisitas. Ratio Fe:Mn  pada tanah setelah pemberian AJKS berkisar antara 3,353,50, sehingga menyebabkan tanaman berada dalam kondisi defisiensi Mn. Peningkatan dosis AJKS disertai penambahan pupuk Mn lewat daun mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi ketidakseimbangan atau antagonisme kedua pupuk ini.
Peningkatan dosis AJKS meningkatkan serapan hara Mn akar (Tabel 12.) tetapi tidak meningkatkan serapan Mn Tajuk (Tabel 13.). Peningkatan serapan Mn pada akar kedelai ini berkaitan dengan meningkatnya ketersediaan Mn pada larutan tanah (Tabel 5.). Peningkatan hara Mn pada larutan tanah berasal dari  sumbangan hara Mn dari AJKS. Serapan hara Mn meningkat dengan meningkatnya ketersediaan hara Mn dalam larutan tanah. Menurut Uren (1981) dalam Salisbury dan Ross (1995), Mn terutama diserap dalam bentuk Mn2+ sesudah dilepaskan dari khelat atau direduksi dari oksida valensi tinggi dipermukaan akar. Menurut Barber et al. dalam Havlin et al.(1999) jumlah hara Mn yang diserap tanaman melalui pergerakan aliran massa lebih besar daripada melalui intersepsi akar dan tidak ada yang diserap melalui difusi.  Ion Mn2+ dalam larutan tanah berpindah bersama aliran air ke akar akibat transpirasi tanaman, intersepsi akar memperpendek jarak yang harus ditempuh unsurunsur hara  untuk mendekati akar melalui aliran massa ini.
Akar Slamet memperoleh angka serapan Mn terendah dibandingkan akar Tanggamus dan akar Anjasmoro, serapan hara Mn pada akar Tanggamus tidak berbeda nyata dengan akar Anjasmoro menurut analisis statistik. Untuk serapan Mn pada tajuk, Anjasmoro memiliki angka serapan hara tertinggi dibanding Tanggamus dan Anjasmoro, antara varietas Tanggamus dan Slamet tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap serapan Mn pada tajuk.
Dilihat dari total serapan hara Mn oleh Anjasmoro (58,04 µg), Tanggamus (47,35µg) dan Slamet (44,11µg), Slamet mempunyai serapan Mn terendah. Rendahnya serapan hara Mn oleh Slamet diduga karena Slamet mempunyai toleransi yang rendah pada tanah gambut dengan ketersediaan Mn rendah, walaupun varietas ini tergolong toleransi moderat pada lahan pasang surut. Koesrini, Sabran dan Eddy (1997) menduga Slamet belum mampu beradaptasi dengan baik pada lahan gambut yang merupakan lahan basah dengan tingkat kemasaman yang tinggi. Varietas ini memiliki toleransi terhadap tanah masam yang berada di lahan kering bukan di lahan basah.
Anjasmoro memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan hara Mn pada tajuk dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini berkaitan dengan kemampuan Anjasmoro dalam memberikan energi kepada akar  untuk mengangkut air dan hara ke tajuk dan kemampuan yang lebih cepat dalam memfungsikan Mn. Menurut Salisbury dan Ross (1995), ada hubungan antara fungsi akar dan tajuk dalam penyerapan mineral (hara). Ada dua kendali dalam melihat hal ini. Dalam pengertian “permintaan”, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam mineral oleh akar dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam produk pertumbuhan (contohnya klorofil). Dalam hal “penawaran”, tajuk memasok karbohidrat melalui floem yang digunakan akar untuk berespirasi menghasilkan ATP; ATP ini membantu penyerapan garam mineral. Barangkali tajuk juga memasok akar dengan beberapa hormon tertentu yang mempengaruhi penyerapan akar.
Mn menurut Lakitan (1993) berfungsi sebagai aktivator dari berbagai enzim, selain itu juga berperan dalam menstimulasi pemecahan molekul air pada fase terang fotosintesis. Mangan juga merupakan komponen struktural dari sistem membran kloroplas. Hal ini menjelaskan bahwa Mn lebih berperan pada tajuk dibanding akar sehingga serapan Mn pada tajuk lebih tinggi dibanding serapan pada akar.
Titik kritis defisiensi Mn berkisar 10 dan 20 µg /g berat kering pada daun yang berkembang sempurna (Marschner, 1995), kedelai menunjukkan defisiensi pada kadar Mn < 15 ppm (Katyal dan Rhandhawa, tahun tidak tercantum) dan titik kritis toksik  berada pada kadar 600 ppm (Marschner, 1995). Kadar Mn pada Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro berturut-turut adalah 9,99 ppm, 9,15 ppm dan 13,77 ppm. Dengan demikian ketiga varietas yang dicobakan masih berada dalam keadaan defisiensi Mn.

C.    Respon Beberapa Varietas Kedelai Di Tanah Gambut yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit (AJKS)

a.       Tinggi Tanaman
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12.) menunjukkan bahwa hanya pengaruh utama dosis AJKS yang berbeda nyata terhadap serapan Mn pada tajuk kedelai, pengaruh utama varietas dan interaksi tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT disajikan pada Tabel 14.
Dari Tabel 14. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS tidak diiringi peningkatan tinggi tanaman baik varietas Anjasmoro, Tanggamus maupun Slamet menurut analisis statistik tapi dari segi angka terdapat peningkatan tinggi tanaman. Tinggi tanaman yang diperoleh dengan pemberian AJKS telah melebihi tinggi tanaman yang dipaparkan dalam deskripsi tanaman (Lampiran 1., 2. dan 3.) Peningkatan tinggi tanaman diduga disebabkan oleh meningkatnya status hara tanah akibat semakin membaiknya pH tanah akibat pemberian AJKS (Tabel 4.) dibanding dengan pH tanah awal dan tanpa perlakuan AJKS. Menurut Hardjowigeno (2001) pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara baik makro maupun mikro diserap oleh akar tanaman.  Kecukupan unsur hara mempengaruhi pertumbuhan tanaman salah satunya tinggi tanaman.
Tidak ditemukannya perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman dengan peningkatan dosis AJKS berkaitan dengan serapan Zn tajuk pada ketiga varietas. Peningkatan dosis AJKS umumnya tidak  memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap peningkatan serapan Zn tajuk (Tabel 9.) sehingga diduga merupakan penyebab tinggi tanaman tidak berbeda nyata juga. Valle (1976) dalam Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa kekurangan Zn dapat menghambat pertumbuhan batang karena Zn diperlukan untuk membuat hormon tumbuh indolasetat (auksin) yang berguna untuk memacu pertumbuhan batang.
Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian AJKS 600 kg/ha dengan peningkatan tinggi tanaman sebesar 17,67 cm dibandingkan tanpa perlakuan AJKS (66,89 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 300 kg/ha AJKS dan perlakuan 900 kg/ha AJKS. Perlakuan varietas tidak menunjukkan perbedaan nyata. Tinggi tanaman yang sama pada ketiga varietas ini diduga karena kebutuhan hara pada masa pertumbuhan vegetatif sama-sama telah terpenuhi, peningkatan dosis AJKS tidak begitu mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman tetapi setelah memasuki masa pertumbuhan generatif masing-masing varietas baru menunjukkan respon yang berbeda. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan respon masing-masing varietas terhadap jumlah polong (Tabel 16), persentase polong kosong (Tabel 17), hasil/pot biji kering (Tabel 18.) dan bobot brangkasan kering (Tabel 19.). Pertumbuhan vegetatif  yang bagus tidak menjamin bahwa pertumbuhan generatif akan bagus pula.
b.      Ratio Akar dan Tajuk
Analisis sidik ragam pada Lampiran 12. menunjukkan bahwa pengaruh utama dosis AJKS dan pengaruh utama varietas serta interaksi kedua faktor tidak berbeda nyata terhadap ratio akar dan tajuk. Analisis tidak dilanjutkan dengan uji lanjut.
Menurut hasil analisis statistik, peningkatan dosis AJKS tidak mempengaruhi ratio akar dan tajuk Anjasmoro, Tanggamus dan Slamet tetapi secara angka terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS menurunkan Ratio akar dan tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan unsur hara dari akar ke tajuk sehingga pertumbuhan tajuk tanaman lebih besar. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kecuali beberapa spesies tumbuhan gurun tertentu yang mempunyai sistem perakaran yang luar biasa besar, kebanyakan tumbuhan mencurahkan sebagian besar biomassanya pada tajuk. Penyerapan garam mineral sebagian dikendalikan oleh aktivitas tajuk. Dalam pengertian permintaan, tajuk akan meningkatkan penyerapan garam mineral oleh akar dengan secara cepat menggunakan garam mineral tersebut dalam produk pertumbuhan misalnya protein, asam nukleat dan klorofil, sehingga pertumbuhan tajuk lebih besar dari akar.
c.       Jumlah Polong Kedelai
Analisis sidik ragam memperlihatkan adanya perbedaan nyata pengaruh utama dosis AJKS, pengaruh utama varietas kedelai dan interaksi keduanya terhadap jumlah polong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut (Lampiran 12.). Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % disajikan pada Tabel 16.
Dari Tabel 16. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan jumlah polong Varietas Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro. Peningkatan jumlah polong berkaitan dengan adanya tambahan hara dari AJKS. Dari analisis kandungan hara diketahui bahwa AJKS mengandung hara makro dan mikro seperti K (24,58%), P (0,02%), Ca (1,79%), Mg (1,5%), Cu (0,11 ppm), Zn (0,14 ppm), Fe (0,36 ppm) dan Mn (0,14 ppm) sehingga dengan pemberian AJKS dapat menambah ketersediaan unsur hara diatas untuk tanaman. Menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) Cu ikut berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat. Apabila tanaman kekurangan Cu maka sintesa protein akan terganggu sehingga pembungaan dan pembuahan menjadi terganggu, sehingga pembentukan polong kedelai juga terganggu.
Jumlah polong tanaman kedelai tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha AJKS pada Anjasmoro (41,00 buah) sedangkan jumlah polong terendah diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada Anjasmoro (10,67 buah). Pada perlakuan tanpa pemberian AJKS, jumlah polong Anjasmoro lebih sedikit dibanding Tanggamus dan Slamet tetapi sejalan dengan peningkatan dosis AJKS dari 300 kg/ha AJKS, 600 kg/ha AJKS sampai 900 kg/ha AJKS, jumlah polong Anjasmoro meningkat lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Pada dosis 300 kg/ha, Tanggamus sudah memperlihatkan peningkatan jumlah polong sedangkan Slamet baru menampakkan perbedaan pada dosis 600 kg/ha AJKS terhadap perlakuan tanpa AJKS.
Perbedaan jumlah polong diantara ketiga varietas ini diduga disebabkan perbedaan laju proses fotosintesis selama fase reproduktif, Anjasmoro memperlihatkan laju fotosintesis yang lebih tinggi. Pernyataan ini didukung dari hasil pengamatan berat brangkasan kering Anjasmoro yang lebih tinggi dari Tanggamus dan Slamet (Tabel 18.)  Pertumbuhan bagian atas yang baik akan menunjang proses fotosintesis selama periode pengisian biji. Gardner et al. (1991) menjelaskan bahwa fotosintesis selama periode pengisisan biji biasanya menjadi sumber yang terpenting untuk berat panen biji.
d.      Persentase polong Kosong
Pengaruh utama dosis dan pengaruh utama varietas kedelai masing-masing berbeda nyata terhadap persentase polong kosong, begitu pula interaksinya (Lampiran 12.). Pengaruh pemberian AJKS terhadap persentase polong kosong beberapa varietas kedelai pada tanah gambut yang telah dianalisis secara statistik dan diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. memperlihatkan bahwa terdapat korelasi positip antara penambahan AJKS dengan penurunan persentase polong kosong. Pada perlakuan tanpa pemberian
AJKS, 100 % polong  Anjasmoro tidak berisi, tetapi dengan peningkatan dosis AJKS terjadi penurunan polong kosong sebesar 55,45%-77,25%. Penurunan polong kosong Tanggamus sudah terlihat pada dosis 300 kg/ha tetapi Slamet baru memperlihatkan perbedaan dengan tanpa perlakuan AJKS pada dosis 600 kg/ha. Persentase polong kosong tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 100 % sedangkan persentase jumlah polong terendah diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 22,75 %.
Tingginya persentase polong kosong pada perlakuan  tanpa pemberian AJKS disebabkan karena rendahnya ketersediaan unsur hara mikro dan diduga adanya asam-asam organik meracun yang  dalam dosis tinggi bisa meracuni tanaman. Asam organik yang tinggi diindikasikan dengan rendahnya pH tanah gambut. Vaughan, Malcolm dan Ord (1985) dalam Prasetyo (1996) menyatakan bahwa pengaruh fitotoksik asam-asam organik dari dekomposisi bahan organik terhadap tanaman meliputi penundaan atau penghambatan pertunasan biji, pertumbuhan kerdil, perusakan sistem perakaran, menghambat penyerapan hara, klorosis, layu dan mematikan tanaman. Selain itu juga mengganggu proses metabolisme seperti respirasi dan sintesis asam nukleat atau protein sementara pengisian polong membutuhkan protein yang tinggi karena (Pitojo, 2003) biji kedelai mengandung protein yang tinggi. Permasalahan kandungan asam organik yang tinggi menurut Hanibal (1995) dapat juga dicegah dengan penggunaan AJKS karena mengandung logam kation polivalen seperti Fe, Cu, Zn, dan Mn yang bisa membentuk khelat dengan asam organik sehingga dapat mengurangi aktivitas dan keracunan asam organik.
Selain itu pemberian AJKS juga dianggap dapat menambah ketersediaan hara makro seperti K, P, Ca, Mg. Dari hasil analisis kandungan hara AJKS dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanibal, Sarman dan Gusniwati (2001) menunjukkan bahwa AJKS mengandung unsur hara K berbentuk senyawa K2O (36,48 %), P2O5 (4,79 %), MgO (2,63 %), CaO (5,46 %), Mn (1230 ppm), Fe (3450) ppm, Cu (183 ppm), Br (125,43) ppm, Zn (28 ppm) dengan pH berkisar 11,9 – 12,0. Sementara itu
AJKS menurut Nainggolan (1992) juga mengandung SiO2 (3.33 %), CaO (5.85 %) MgO (2.63 %), Al2O3 (4.71 %), Fe2O3) (18.34 %), SO3 (3.0 %), Na2O (1.8 %) dan K2O (27.26 %). Panjaitan, Sugiono dan Sirait (1983) dalam penelitiannya melaporkan bahwa AJKS mempunyai kandungan unsur hara Kalium yang tinggi, disamping kandungan unsur hara lain seperti Fosfor dan Magnesium.
Unsur K sangat berperan dalam proses pembentukan polong dan polong bernas pada tanaman kedelai. Semakin tinggi K maka pembentukan dan pengisian polong semakin berjalan sempurna (Hanibal, 1995). Dengan demikian AJKS dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah polong bernas kedelai melalui sumbangan haranya terutama K yang  tinggi yang terkandung di dalam AJKS.
e.       Hasil/ Pot biji kering
Dari analisis sidik ragam terlihat bahwa pengaruh utama dosis AJKS, pengaruh utama varietas dan  interaksinya berbeda nyata terhadap hasil/pot biji kering kedelai (Lampiran 12. ) Hasil analisis statistik pengaruh pemberian AJKS terhadap bobot biji kering beberapa varietas kedelai pada tanah gambut disajikan pada Tabel 18.
Dari Tabel 18. terlihat bahwa peningkatan dosis AJKS meningkatkan hasil/pot biji kering kedelai. Peningkatan hasil/pot biji kering pada Tanggamus berkisar 1,07 g1,94 g, Slamet berkisar 0,09 g-0,49 g sedangkan Anjasmoro berkisar 1,28-3,48 g. Peningkatan hasil/pot biji kering ini kalau dikonversi ke dalam hasil produksi perhektar masih tergolong sangat rendah. Hal ini diduga bahwa dosis AJKS yang diberikan belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai baik makro dan mikro. Rendahnya bobot biji berkaitan dengan jumlah polong yang rendah dan tingginya persentase polong kosong.
Pemberian AJKS belum mampu mencapai pH tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan produksi tanaman, padahal pH tanah yang ideal akan meningkatkan status kesuburan tanah yaitu dengan peningkatan kelarutan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro seperti Cu, Zn, Fe dan Mn. Hara Cu, Zn, Fe dan Mn juga menentukan hasil/pot biji kering tanaman kedelai karena menurut Hardjowigeno (2001) Zn berperan dalam pematangan biji dan merupakan katalis pembentukan protein, Fe berperan dalam pembentukan klorofil dan merupakan penyusun enzim dan protein, Cu berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein sementara Mn berperan dalam fotosintesis. Sementara tanah belum mampu menyediakan unsurunsur  ini sesuai dengan kebutuhan tanaman sebagaimana yang dinyatakan Sutanto (2005) bahwa kemampuan tanah sebagai habitat tanaman untuk menghasilkan bahan yang dapat dipanen sangat ditentukan oleh tingkat kesuburannya. Kesuburan tanah (Dikti, 1991) adalah kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara dalam jumlah yang berimbang untuk pertumbuhan dan produksi tanaman.
Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa keseimbangan hara dalam tanah merupakan faktor penting bagi kelancaran metabolisme yang erat hubungannya dengan pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman yang dihasilkan. Hal ini pada akhirnya sangat menentukan besarnya bobot kering biji. Amelioran AJKS memiliki kadar K yang tinggi, menurut Roesmarkam dan Yuwono (2002) umumnya penyerapan K tinggi menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg dan Na turun. Unsur yang mempunyai pengaruh saling berlawanan dan satu sama lain saling mengusir disebut antagonis. Oleh karena itu perlu ketersediaan unsur berimbang optimal. Sehingga selain AJKS perlu ditambahkan pupuk atau bahan amelioran lain yang dapat memasok hara sesuai kebutuhan tanaman.
Hasil/pot biji kering tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian 900 kg/ha AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 3,48 g sedangkan hasil/pot biji kering terendah diperoleh pada perlakuan tanpa perlakuan AJKS pada varietas Anjasmoro yaitu sebesar 0,00 g. Pada perlakuan tanpa pemberian AJKS, Anjasmoro tidak menghasilkan biji kering karena semua polong yang dihasilkan pada perlakuan ini tidak berisi. Hal ini diduga disebabkan karena Anjasmoro adalah kedelai yang peka terhadap tanah gambut tetapi mempunyai respon yang lebih besar terhadap pemberian AJKS dibandingkan Tanggamus dan Slamet. Slamet memiliki respon yang rendah terhadap peningkatan dosis AJKS, respon baru terlihat pada dosis 600 kg/ha. Hal ini berkaitan dengan daya serap tanaman ini terhadap unsur hara mikro yang juga rendah.
Anjasmoro  merupakan varietas yang peka pada tanah gambut tetapi dengan pemberian AJKS, varietas ini ternyata memiliki respon dan efisiensi hara yang lebih tinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Hal ini dilihat dari kemampuannya dalam menghasilkan hasil/pot biji kering dan bobot brangkasan kering yang lebih besar dari Tanggamus dan Slamet. Hasil/pot biji kering yang masih rendah  pada Anjasmoro sebagai varietas terbaik dalam percobaan ini berkaitan dengan kurangnya nutrisi hara untuk mendukung pengisian polong pada varietas ini. Jumlah polong yang lebih besar dan persentase polong kosong yang kecil tidak sebanding dengan bobot biji kering yang dihasilkan. Waktu matang panen yang dibutuhkan varietas ini (100 hari) lebih lama dibanding deskripsi varietasnya (82,5-92,5 hari) dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan Tanggamus (77 hari) dan Slamet (81 hari) sementara media tanah di dalam polybag telah mengalami penurunan sebesar ± 10 cm. Hal ini mengakibatkan tanaman kekurangan energi untuk pengisian polong sehingga polong berisi tapi tidak bernas. Cepatnya penurunan tanah disebabkan karena gambut telah kehilangan sebagian besar kandungan airnya seperti yang terjadi pada lahan gambut dengan over drainase.
f.       Bobot Brangkasan Kering
Dilihat dari sidik ragam (Lampiran 12.) terdapat perbedaan nyata antara dosis AJKS dan Varietas kedelai terhadap bobot brangkasan kering varietas kedelai pada tanah gambut. Hasil analisis statistik yang diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. memperlihatkan bahwa bobot brangkasan kering Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro meningkat sejalan dengan peningkatan dosis AJKS. Bobot brangkasan kering yang meningkat dengan peningkatan dosis AJKS diduga karena meningkatnya kemampuan akar tanaman dalam mentranslokasikan air dan unsur hara melaui xylem ke tajuk  sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk. Hal ini diduga berhubungan dengan meningkatnya serapan hara pada akar dan tajuk dengan peningkatan dosis AJKS.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan 900 kg/ha AJKS pada Anjasmoro yaitu sebesar 9,42 g sedangkan bobot brangkasan kering terendah diperoleh pada perlakuan pemberian 300 kg/ha AJKS pada Slamet yaitu sebesar 1,79
g. Pada semua level dosis pemberian AJKS, Anjasmoro memperoleh bobot brangkasan kering tertinggi dibanding Tanggamus dan Slamet. Perbedaan bobot brangkasan diperoleh sebesar 3,99 g dibandingkan varietas Slamet dan 2,57 g dibanding Tanggamus. Antara Tanggamus dan Slamet tidak berbeda nyata menurut analisis statistik tapi secara angka, bobot brangkasan kering Tanggamus lebih tinggi daripada Slamet.
Bobot brangkasan kering tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro disusul varietas Tanggamus dan Slamet sehingga diduga varietas Anjasmoro adalah varietas yang adaptif pada tanah gambut yang masam dengan kemampuan menyuplai unsur hara untuk tanaman yang rendah. Setiap tanaman mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap deraan lingkungan, Slamet dan Suyamto (1977) menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam berkompetisi terhadap faktor tumbuh yang dikendalikan oleh genotifnya. Daya adaptasi suatu varietas tanaman adalah interaksi antara lingkungan dengan genotif. Daya adaptasi ini menyebabkan varietas Anjasmoro dapat memperoleh faktor pertumbuhan seperti air, hara, cahaya dan karbondioksida untuk menghasilkan biomassanya. Senyawa anorganik terutama air dan karbondioksida serta unsur hara yang diserap akar akan memberikan kontribusi terhadap pertambahan bobot kering.
Varietas Anjasmoro memiliki efisiensi hara terbaik dilihat dari bobot keringnya. Bobot kering menggambarkan efisiensi tanaman dalam menggunakan unsur hara. Menurut Marschner (1995) tanaman yang efisien didefinisikan sebagai tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik, memproduksi bahan kering yang lebih banyak dan mengembangkan gejala kekurangan hara yang lebih sedikit daripada tanaman lain ketika ditanam pada tingkat unsur hara rendah atau kurang. Hal ini juga dapat dilihat dari Tabel 18., dimana pada dosis 300 kg/ha, Tanggamus dan Slamet belum mengalami peningkatan yang nyata dibandingkan tanpa perlakuan, dengan dosis 600 kg/ha baru terjadi perbedaan berat kering sedangkan Anjasmoro sudah memperlihatkan perbedaan yang nyata pada dosis 300 kg/ha dibanding tanpa pemberian AJKS. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kondisi pemberian hara yang sama, Anjasmoro lebih mampu mempergunakannya untuk menghasilkan biji kering dan brangkasan kering yang lebih tinggi dibanding Tanggamus dan Anjasmoro.




IV.             KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian “Studi Ketersediaan dan Serapan Hara Mikro Serta Hasil Beberapa Varietas Kedelai Pada Tanah Gambut Yang Diameliorasi Abu Janjang Kelapa Sawit” dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pemberian abu janjang kelapa sawit (AJKS) secara umum meningkatkan pH tanah dan ketersediaan Cu, Zn, Fe dan Mn tanah gambut dan terdapat interaksi antara dosis AJKS dan varietas kedelai terhadap serapan Cu, Zn dan Fe pada akar dan tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro, jumlah polong, persentase polong kosong, hasil/pot biji kering dan brangkasan kering, sedangkan pemberian faktor utama dosis AJKS dan varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap serapan Mn pada akar dan tajuk Tanggamus, Slamet dan Anjasmoro, tinggi tanaman serta ratio akar dan tajuk.
2.      Pemberian 900 kg/ha AJKS umumnya memberikan hasil tertinggi terhadap semua parameter yang dicobakan pada penelitian ini. Secara umum diantara tiga varietas yang diuji, varietas Anjasmoro merupakan varietas yang peka tetapi respon terhadap pemberian AJKS karena Anjasmoro memperoleh hasil/pot biji kering paling tinggi yaitu sebesar 3,48 g dibanding Tanggamus (2,57 g) dan Slamet (0,69 g) serta menghasilkan bobot brangkasan kering yang lebih banyak yaitu sebesar 9,42 g dibanding Tanggamus (4,82 g) dan Slamet (3,38 g).

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto dan R. Widianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Lahan Kering dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. 75 hal.
Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 41 hal.
Amaru, Kharistya. 2000. Limbah Industri Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. 15 hal.
Ambak, K., Abubakar and T. Tadano. 1992. The effect of Liming and Micronutrien Application on the Growth of Crop Plants and Occurrence of Sterility in Southern Thailand and Malaysia. 399-409. Dalam: Tropical Peatland. Prosiding Simposium; Kuching, Serawak 6-10 Mei 1991. Serawak. Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) and Development of Agriculture Serawak.
Anonim. 2 Maret 2010. Industri Sawit Diminta Terapkan                            Zero Waste.
http://economy.okezone.com/read/2010/03/02/320/308146/320/industri-sawitdiminta-terapkan-zero-waste. [28 April 2010].
Asril. 2001. Pertumbuhan dan Hasil Kedelai yangDiinukolasi dengan Rhizobium japonicum pada Tanah Gambut Saprik yang Diberi Abu Janjang Kelapa Sawit. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang. 54 hal.
Atman, R. 2009. Strategi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Balai
Pengkajian       Teknologi        Pertanian         (BPTP)            Sumbar. Http://atmanroja.files.wordpress.2009.06/03.kedelaiindonesia.pdf. 2 hal. [28 April 2010].
Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2009. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2009. Bogor. 72 hal.
Bangka, B. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. 2010. Http://Budakbangka.blogspot.com/2005/pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit. [ 28 April 2010].
Buckman, H.O dan N. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Penerjemah: Soegiman.
Terjemahan dari: Soil Science. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal.
Dai, J. 1989. Potensi Gambut Indonesia. Hal 352-359. Dalam: Tantangan, Prospek dan Pelestarian. Tanah gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar: Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara.
Departemen Pertanian, 2006. Usaha Pengembangan Kedelai. http : // www. Deptan.go.id/infoeksekutif/tan/tp 2006/Lp kedelai, 2htm. [6 Maret 2006].
Djoefrie, B. 1982. Substitusi Pupuk KCl dengan Limbah Kelapa Sawit Untuk Tanaman Cengkeh dan Kedelai. Jurnal Agrotropika Volume IV (2): 78: 1517. Bogor.
Dikti. 1991. Kesuburan Tanah. 245 hal.
Fitter, A. H. dan K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. 421 hal
Gardner, F. P., Pearce R. B., Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta. 428 hal.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa., A. M. Lubis., M. Nugroho., G. Saul., M.A. Diha., M.
Hong., G. B. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.  Universitas Lampung. Lampung. 488 hal.
Halim, A dan G. Soepardi. 1987. Perbaikan Tanah Gambut Pedalaman dengan Peningkatan Kejenuhan Basa dalam Budidaya Tanaman Kedelai. hal 272-276. Yokyakarta. Seminar Nasional Gambut I di Yogyakarta.
Hanibal. 1995. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Kedelai pada Ultisol. [Tesis]. PPS Unand. Padang. 156 hal.
Hanibal, Sarman, Gusniwati. 2001. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit Pada
Lahan Kering dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Nodula Akar, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glaycine max). Fakultas Pertanian. Universitas Jambi. Jambi.
Hardjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian. Suatu Peluang dan Tantangan. Fakultas Pertanian IPB.Bogor. 173 hal.
-----------------------. 1989. Sifat-Sifat dan Potensi Tanah Gambut Sumatera Untuk
Pengembangan Pertanian.Hal 43-70. Dalam: Tantangan, Prospek dan Pelestarian. Tanah Gambut Untuk Perluasan Pertanian. Proseding Seminar: Medan, 27 Nopember 1989. Medan. Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akamedika Pressindo. Jakarta. 284 hal.
Havlin J. L., J. D. Beaton., S. L. Tisdale dan W. L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall. New Jersey. 499 hal.
Hettari, R. 2005. Penetapan Dosis Unsur Mikro Cu pada Tanah Gambut yang Diberi Kapur Terhadap Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L. Merril). [Skripsi]. Fakultas Pertanian Unand. Padang.  78 hal.
Istina, I., N. Umar dan Dorlan. 2007. Pengaruh Limbah Abu Tankos Kelapa Sawit Terhadap Hasil Beberapa Varietas Kedelai Unggul Baru di Lahan PMK. Buletin Inovasi Pertanian. Volume 1. nomor 2. Desembar 2007. 4 hal.
Katyal dan N. S. Randhawa. Tahun Tidak Tercantum. FAO Fertilizer and Nutrition Bulletin. Food and Agricultural Organization of United Nation. hal 82.
Kurniawan, A. 2011. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai.
http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:unsurunsur-hara-tanaman&catid=47:artikel http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16351/4/Chapter%20II.pdf. [4 Maret 2011].
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius. Yokyakarta. 92 hal.
Kuswandi, A. 2009. Unsur Hara dan Fungsinya Pada Tanaman Kedelai. http://www.tha.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95:uns ur-unsur-hara-tanaman&catid=47:artikel[ 4 April 2009].
Koesrini., M. Sabran., dan W. Eddy. 1997. Adaptasi dan Toleransi 15 Varietas Kedelai Di Lahan Pasang Surut Bergambut. Hal: 14-18. Prosiding: Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Palangkaraya.
Lahuddin. 1989. Pengaruh Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap B dan Zn- tersedia. Buletin I.  Pertanian USU. Medan. 8 hal.
Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 203 hal.
Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV. Simplex. Jakarta. 32 hal.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Politeknik Pertanian Tembilahan dengan Bappeda Kabupaten Indragiri Hilir. 2006. Penyusunan
Detail Engineering Design (DED) Perkebunan Kelapa Di Kabupaten Indragiri Hilir. 202 hal
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. AcademicPress. California.
Marwoto dan Suharsono. 2009. Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodopthera fabricius) pada Tanaman Kedelai. Http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3244083.pdf. [7 May 2010].
Mayerni, R. 2004. Pengaruh Limbah Pabrik Semen dan Efektif Mikroorganisme Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rami (Boehmeria nivea) (L.)Gaud) Pada Tanah Gambut. Stigma Volume XII No.2, April-Juni 2004. 4 hal.
Najiyati, S., L. Muslihat dan I. I. N Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek  Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetland International. Indonesia Programmeand Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. 9 hal.
Nelvia. 1997. Pemupukan Posphat Alam dan Amelioran Pada Tanah Gambut Terhadap Ketersediaan dan Serapan P, K, Ca dan Mg oleh Tanaman Jagung. 34-38. Dalam: Identifikasi Masalah Pupuk Nasional dan Standarisasi Mutu yang Efektif. Prosiding Seminar Nasional: Bandar Lampung, 22 Desember 1997. Kerjasama Unila dan HITI.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yokyakrta. 174 hal.
Panjaitan, A. Soegiono dan Sirait, H. 1983. Pengaruh Pemberian Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Perubahan Kalium Tukar Tanah Pada Podzolik, Regosol dan Aluvial. Balai Penelitian Perkebunan Medan. Buletin. Vol. 14.No. 4. Medan. 129 hal.
Pitojo, S.  2003. Benih Kedelai. Seri Penangkaran. Penerbit Kanisius. Yokyakarta. 17 hal.
Prasetyo, T. B. 1996. Perilaku Asam-Asam Organik Meracun Pada Tanah Gambut Yang Diberi Garam Na dan Beberapa Unsur Mikro Dalam Kaitannya Dengan Hasil Padi. [Disertasi]. Progrm Pasca Sarjana IPB. Bogor. 187 hal.
Prasetiyono, J. dan Tasliah, 2003. Strategi Pendekatan Bioteknologi Untuk Pemuliaan Tanaman Toleran Keracunan Aluminium. Jurnal Ilmu Pertanian Vol.10 No.1: 85 hal.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Logam-Logam Polivalen Untuk Meningkatkan Ketersediaan Phospat dan Produksi Jagung Pada Tanah Gambut. [Disertasi]. PPS IPB. Bogor. 260 hal.
Rahmaneli. 2006. Pengolahan Minyak di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. Bumi Palma Lestari Persada Kecamatan Kempas Jaya Kabupaten Indragiri Hilir.
Sawit. [Laporan Magang]. Fakultas Pertanian UNISI. Tembilahan. 72 Hal.
Ramadoni. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Macam Pupuk Kalium pada Tanah
Gambut yang Dicampur Aluvial Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays, L.). [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas.Padang. 78 hal.
Rosmarkam, A dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yokyakarta. 224 hal.
Sabiham, S. 1993. Pemanfaatan Lumpur Daerah Rawa Pasang Surut sebagai Salah Satu Alternatif dalam Menurunkan Gas Methan dan Asam Phenol pada Gambut Tebal. Hal 267-280. Di dalam S. Triutomo, B. Setiadi, B. Nurachman, D. Mulyono, E. Nursahid dan Kasiran (Eds.). Prosiding: Seminar Nasional Gambut II. Jakarta, 14-15. Januari, 1993.
Sagala, D. 2010.  Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. [Thesis]. Pasca Sarjana IPB. Bogor. 163 hal.
Salisbury, F. B dan C. W.  Ross.  1995.  Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Penerjemah; Diah R. Lukman dan Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi Bandung Press. 342 hal.
Salisbury, F. B dan C. W.  Ross.  1995.  Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Respon Keracunan dan Toleransi Tanaman Terhadap Logam. Penerjemah; Diah R. Lukman dan Sumaryono. Terjemahan dari: Plant Physiology. Institut Teknologi Bandung Press. 342 hal.
Sarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Bandung. 196 hal.
Santoso, D., Suwarto. dan E. A., Sri. 1983. Penuntun Analisis Tanaman. Pusat Penelitian Tanah. Bogor. 47 hal.
Setiadi, B. 1996. Gambut: Tantangan dan Peluang. Editor. Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Departemen Pekerjaan Umum. 120 hal.
Setyamidjaya, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan Simplex. Jakarta.
Slamet dan Suyamto. 1997. Tanggap Genotif Kedelai Terhadap Cara Tanam Tumpang Sari dengan Jagung Varietas Wisanggeni. [Abstrak Agronomi Edisi Khusus]. Balitkabi. Malang. 1 hal.
Sopher C. D. dan J. V.Braird 1976. Soils And Soil Management. Weston Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar